Rabu, 29 Juli 2009

PEMIMPIN DAN JALAN PERUBAHAN


Indonesia butuh perubahan! Inilah kiranya ungkapan hati nurani yang mewakili harapan masyarakat negeri. Masyarakat telah bosan dengan keadaan kehidupan negeri ini yang tak kunjung baik dan tidak mampu membawa mereka kepada kesejahteraan hidup. Beberapa kali pergantian pemimpin tidak membawa perubahan secara signifikan negeri ini kepada kondisi yang lebih baik. Pada bebarapa hal banyak dilakukan pembangunan fisik, terutama bangunan-bangunan komersial. Namun pada banyak hal pembangunan kondisi sosial-masyarakat diabaikan. Padahal masyarakat berharap banyak kepada sosok pemimpin yang memiliki jiwa pengabdian, rela berkorban, dan kepekaan sosial.
Tapi nampaknya, menghadirkan seorang pemimpin yang benar-benar memperhartikan urusan rakyatnya menjadi sebuah keniscayaan. Maka tak heran jika banyak yang berharap pada pemilu dengan cara menggunakan hak suara meraka. Hingga ada yang mengatakan bahwa memilih untuk tidak memilih adalah pilihan yang tidak cerdas dan menunjukkan sikap apatis. Benarkah demikian? Apakah pemilu merupakan satu-satunya jalan untuk menghadirkan seorang pemimpin yang adil, yang memperhatikan rakyatnya? Atau, adakah jalan yang lainnya?

Kewajiban mengangkat seorang Pemimpin
Mengangkat pemimpin dalam Islam hukumnya wajib. Hal ini telah dinyatakan dalam nash-nash Syar’i. Rasulullah SAW bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Ijma’ Sahabat juga menunjukkan kewajiban mengangkat seorang pemimpin. Hal tersebut dapat dicermati dari riwayat yang menceritakan bahwa para Sahabat tidak bersegera memakamkan jenazah Rasulullah SAW hingga mereka berhasil mengangkat Abu Bakar ra. sebagai pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintahan. Padahal, hukum memakamkan jenazah adalah Fardhu Kifayah, yang pelaksanaannya tidak boleh ditunda. Akan tetapi Sahabat tidak melakukannya. Ini berarti ada perkara lain yang wajib dilaksanakan dan didahulukan yaitu mengangkat pemimpin bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Dan Ijma’ Sahabat tersebut merupakan dalil Syar’I yang wajib diambil oleh kaum muslimin.
Pemimpin yang dikehendaki oleh Islam adalah pemimpin yang mampu menerapkan Syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka dalam konteks ini jelas bukan hanya persoalan person/individu saja yang diperhatikan, tetapi juga sistem yang diterapkan. Mengangkat seorang pemimpin berarti menyerahkan urusan rakyat untuk diatur oleh pemimpin yang diangkat dan diberi mandat oleh rakyat. Dan adanya ketaatan merupakan konsekuensi dari mengangkat seorang pemimpin. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin (uli al-amr) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]:59).
Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang dibenarkan oleh Syari’at dan bukan ketaatan untuk melaksanakan kemaksiatan. Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada al-Khaliq (Allah).”
Jadi, ketaatan bukanlah bagi mereka yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang mentaati orang yang bermaksiat kepada Allah sebagaimana dalam hadits di atas.
Namun, perintah untuk mentaati uli al-amri saat ini tidak bisa diwujudkan karena objek yang wajib ditaati (uli al-amri) tidak ada. Maka, perintah untuk mentaatinya adalah sekaligus menjadi perintah untuk mewujudkannya. Sehingga ketaatan terhadap uli al-amri bisa terwujud. Karena itu, mentaati uli al-amri merupakan Dalalah iltizam (indikator yang membawa konsekuensi) wajibnya mengangkat dan mewujudkan uli al-amri.

Perjuangan politik sebagai jalan perubahan.
Banyak kalangan yang berharap pemilu akan menjadikan negeri ini lebih baik. Berharap lahirnya pemimpin yang memperhatikan urusan rakyatnya akan lahir melalui pesta demokrasi tersebut. Bahkan sebagian beranggapan, bahwa pemilu adalah satu-satunya cara untuk merubah kondisi negeri ini. Sebagian kaum muslim pun berpendapat, tanpa keikutsertaan mereka yang membawa misi keislaman (baik sebagai pemilih maupun yang dipilih) berarti sama saja dengan menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang-orang kafir atau mereka yang menjadi antek para musuh Islam. Walhasil, muncullah pemikiran bahwa pemilu menjadi wajib, dan golput (dengan alasan apapun) DIHARAMKAN.
Negeri ini telah melaksanakan pemilu berkali-kali. Sejak masa orde lama, orde baru, hingga orde reformasi pemilu tidak membawa perubahan apa-apa. Bahkan kondisinya cenderung semakin parah. Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan yang mendasar justru bukan lahir dari pemilu atau melalui parlemen (konstitusional). Pergantian orde lama ke orde baru, orde baru ke masa reformasi justru terjadi secara inkonstitusional. Begitu juga yang terjadi di belahan dunia lainnya; revolusi industri di Eropa, revolusi Iran, kudeta Thailand, semuanya terjadi diluar parlemen. Begitulah kenyataannya bahwa perubahan besar, menyeluruh dan mendasar selalu terjadi di luar system.
Namun, tulisan ini bukanlah bermaksud memprovokasi masyarakat untuk memboikot pemilu kemudian melakukan kudeta atau revolusi berdarah. Akan tetapi hendak meluruskan pemahaman dan berfikir ideologis. Bagi mereka yang memilih untuk golput karena sikap apatis kemudian pasrah dan berserah diri kepada kondisi yang ada, tentu tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, setiap sikap dan pilihan yang diambil tentu dengan pertimbangan ideologis yang benar. Yaitu dengan jalan perjuangan pemikiran Islam, berinteraksi dengan mereka dengan melakukan pergolakan pemikiran, mengajak kalangan yang menjadi pilar-pilar Negara yang memiliki kekuatan (ahlu an-Nushroh) untuk menerima dakwan Islam, serta menerapkan Syariat Islam di tengah-tengah kehidupan.
Perjuangan politik tidak bisa dilakukan tanpa adanya partai politik. Ini merupakan sebuah keharusan bahkan sebuah kewajiban. Kewajiban untuk mewujudkan pemimpin tidak akan bisa terwujud tanpa adanya partai politik yang memperjuangkan hal tersebut. Karena itu, keberadaan partai politik menjadi wajib. Inilah konklusi yang bisa ditarik dari Dalalah Iltizam (sebagaimana penjelasan sebelumnya) dalam ilmu ushul fiqh. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah partai politik Islam yang menjadikan fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode) Islam sebagai landasan geraknya. Sehingga perubahan yang dicita-citakan adalah terwujudnya kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Di sanalah terlihat fungsi edukasi dari sebuah partai politik. Membangun kesadaran umat dengan pemahaman Islam. Bukan hanya sekedar melakukan aktivitas untuk kepentingan pemilu. Dengan melakukan perjuangan politik berdasarkan thariqah perjuangan Rasulullah SAW berarti sebuah partai politik telah melakukan sebab-sebab yang akan mengantarkan pada keberhasilan dan kemenangan Islam. Keyakinan akan janji Allah akan menjadi kekuatan tersendiri bagi para aktivisnya. Dan tentu tanpa melupakan kaidah kausalitas (sebab-akibat) yang harus dijalani. []Oleh: Azzam Semesta
(GEMA Pembebasan Komisariat IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar