Rabu, 29 Juli 2009

MAHASISWA DAN ANARKISME

Syariah, Juni 2009
Pagi itu suasana seakan nampak biasa-biasa saja. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang warga Fakultas Syariah, dosen, mahasiswa, pegawai akademik beraktifiatas sebagaimana hari-hari sebelumnya. Aku pun demikian. Hari ini, hanya ada satu mata kuliah hukum perkawinan Islam di Indonesia, yang memang salah satu mata kuliah yang cukup nyantai bagiku. Kukeluarkan HP dari saku celana, waktu menunjukan jam 09.05, lima menit lagi masuk kuliah.
Selang beberapa saat ada yang ramai di perkiran depan kantor BEM, ada apakah gerangan??? Aku berjalan tenang diatas lantai dua gedung, terlihat semua aktivitas-aktivitas yang kurang biasa terjadi di depan parkiran ini. Ah.. ada-ada saja perilaku kaum intelektual ini, gumamku. Aku tetap memperhatikan.
Semakin lama masa makin banyak, semakin banyak, semakin banyak dan... aksi pun dimulai. Perilaku khas mahasiswa, pelajaran pertama masuk kampus, penekanan utama dalam oscar (semacam ospek atau orientasi mahasiswa baru), suatu yang menjadikan mahasiswa begitu disegani, sekaligus ditakuti oleh pemerintahan manapun. DEMONSTRASI..
Semula aksi berjalan terkendali, masih sebatas kewajaran (mungkin juga tidak). Mahasiswa bergantian melakukan orasi lantas kemudian disertai hujatan-hujatan bak lomba orasi yang diselenggarakan panitia oscar untuk para mahasiswa baru, sesekali diikuti teriakan histeris puluhan mahasiswa yang lain. Demikian terus berlangsung. Puas mereka ber-orasi dan menghujat, para mahasiswa yang semakin bertambah ini berjalan mengelilingi kampus sembari meneriaki mahasiswa lain agar mau bergabung dengan mereka.
Setelah cukup lama melakukan aksi, akhirnya pihak pimpinan, dekan dan para pembantunya bersedia menemui para pengunjuk rasa. Mereka melakukan pertemuan dan dialog di ruang Auditorium Syariah, dari pihak mahasiswa diwakili oleh BEM dan jajaranya, HMJ setiap jurusan, perwakilan UKM dan LPM, akupun turut masuk didalamnya, kulihat Pak Sam'un turut hadir dalam sesi dialog ini, berarti mata kuliah hukum perkawinan islam di indonesia kosong. Sedang pihak dekanat diwakili oleh Dekan Faishol Haq dan pembantu-pembantunya, Jeje Abdul Rozak, Masruhan, dan juga para Kasubag akademik, umum dan keuangan. Tuntuan mahasiswa berupa renovasi gedung BEM dan UKM, Pelayanan akademik serta pengadaan SP (semester Pendek) semua terjawab dalam forum tersebut.
Lantas apakah para demonstran di luar sudah tenang???? Ternyata tidak. Mereka bahkan semakin bringas dan anarkis. Para demonstran melakukan swiping di tiap kelas. Semua mahasiswa yang masih melakukan perkulaiahan dengan dosen dipaksa keluar dan ruangannya ditutup. Bahkan kaca akademik takluput dari amukan masa. Anarkis menjalar masuk ke dalam ruang sidang, salah satu dosen tidak trima dan keributan di ruang auditorium pun tak dapat terelakan bahkan nyaris terjadi baku hantam mahasiswa dan dosen tersebut. Namun semua bisa teratasi. Namun bagaimanapun juga, hal ini semua telah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia. Wajah intelektual para penuntut Ilmu

Mahasiswa & Idealismenya
Diskurkus tentang mahasiswa dan idealismenya, bahkan sebelum bangsa Indonesia mengenal kemerdekaan, mahasiswa dengan intelektualnya telah berjuang, perjuangan dengan organisasi modern-moderennya. Sudah lama juga, topik tentang mahasiswa menjadi pokok bahasan dalam berbagai forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, saat rezim orde baru berkusa, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat sangat nyata terlihat. Dari berbagai advokasi yang dilakukan, dan pendampingan atas rakyat yang menjadi korban dari ketidak adilan itu, menjadikan mahasiswa sangat disegani dan sekaligus menjadi tameng sekaligus senjata bagi rakyat. Serta pula control terhadap rezim penguasa dan antek-anteknya menjadikan mahasiswa semacam musuh bersama penguasa yang harus di singkirkan (diadopsi dari Film GERMA pada tahun 1998)
Dan puncaknya pada tahun 1998, gerakan nyata denagan urun ke jalan secara besar-besaran telah mampu merobohkan rezim yang seama 32 tahun berkuasa di negri tercinta ini. Kekuatan mahasiswa telah terbukti mampu membawa perubahan yang dielu-elukan itu, REFORMASI.
Sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987,
Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Sekarang kok jadi kayak gini
Apapun yang terjadi, terlepas dari tiap manfaat serta hikmah yang dihasilkan dari idealisme mahasiswa yang menghasilkan perubahan sosial, dan sangat dibanggakan oleh rakyatnya. Namun akhir-akhir ini, kita mahasiswa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dikejutkan dengan sikap dan gerakan mahasiswa yang kehilangan ruh bahkan jiwa serta fitrah dari subtansi gerakan itu sendiri, entah hilang kemana idealisme itu, tinggal anarkisnya.
Betapa tidak? Apa ang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa status mahasiswa yang notabenenya merupakan corong perubahan, kini menjadi garda anarkisme. Mulai dari kasus mahasiswa demonstrasi yang katanya membela teman-teman kuliahnya yang kebetulan terkena keputusan pihak birokrasi kampus dengan status drop out, menuntut fasilitas-fasilitas, sampai dengan tawuran antar mahasiswa yang berbeda fakultas (Alhamdulillah yang satu ini tidak terjadi di kampus kita, walaupun terkadang masih ada sedikit-sedikit). Dan semuanya menyisahkan anarkisme dan perusakan-perusakan fasilitas kampus dan umum.
Dan masih ingat dalam benak kita, kasus ributnya pemilihan presiden mahasiswa (ketua BEM_Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) tahun lalu, dan yang juga tak terlupakan, keributan antar mahasiswa satu bendera yang berbeda wilayah saat deklarasi salah satu organisasi masa terbesar di IAIN Sunan Ampel ini. makin menambah daftar kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa. Anehnya, perilaku yang demikian kian hari kian menambah jumlah daftarnya.
Setidaknya kita (baca; mahasiswa) merasa malu terhadap gelar yang sudang terlanjur kita sandang, intelektual, ilmiah, agen perubahan dan control sosial. Sedangkan, sikap dan sifat kita tidak lebih seperti preman dan bahkan seperti orang yang tak mengenal pendidikan. Bukankah kita sudah ’Maha’, kenapa lantas kita tak ada ubahnya seperti anak kecil yang sering menyelesaikan permasalahan kita sengan kekerasan dan perusakan fasilitas.
Demonstrasi merupakan salah satu dari sekian pilihan media penyampaian aspirasi, dan bukan satu-satunya. Dan aksi mahasiswa hendaknya dikonstruk dengan berbagai bentuk yang benar-benar normatif, setidaknya gerakan mahasiswa musti dibarengi dengan sikap yang benar-benar dewasa. Bukankah kita mengutuk yang namanya ”kekerasan”, tapi kalau kita yang bertindak demikian, apa kata dunia?????
Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dulu dengan sekarang ini tentu sudah jauh berbeda. Jika dulu pada masa Soeharto mahasiswa dilarang melakukan gerakan. Sehingga menggunakan kekuatan kampus yang puncaknya tahun 97 dan 98, dengan posisi mahasiswa berada di garda terdepan untuk menurunkan rezim Soeharto dengan mendapat dukungan jutaan orang di belakangnya.
Namun sekarang ini sudah demokrasi, siapa saja bisa diunjukrasa, semua bisa menyampaikan pendapatnya dan berhak pula didengar pendapatnya.
Wallahu A'lam Bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar