Senin, 24 Januari 2011

METAMORFOSA KAMPUS 117


“Bangkitlah, bangkit mahasiswa
IAIN harapan bangsa, umat sedang menunggu bimbinganmu
Menuju ke arah medan nan jaya…
…”

Bisa jadi mars ini tidak akan pernah lagi didengunkan ketika IAIN benar-benar bermetamorfosis menjadi UIN. Selain akan ada mars baru sebagai pengganti, tentunya akan hadir kejutan-kejutan baru pula sebagai konsekuensi dari konversi tersebut. Namun ibarat ingin menggapai puncak gunung yang tinggi, sudah barang tentu butuh kerja keras dan pengorbanan, lalu bagaimana jika mahasiswa yang menjadi korban proses konversi ini?
Dan inilah yang ditakutkan oleh mahasiswa yang tergabung dalam berbagai UKM di lingkungan IAIN Sunan Ampel. Karena menurut mereka, ketika UIN benar-benar terealisasi, eksistensi UKM akan menjadi korbannya. “ dari segi akademik memang bertambah bagus, tapi non akademis seperi eksistensi UKM akan mengalami kemunduran. Sekalipun nantinya DPP naik, tapi apa gunanya jika jam kegiatan berkurang karena berlakunya jam malam?” tutur iqbal selaku sekertaris UKM SB. Hal ini juga senada dengan beberapa UKM lainnya, seperti UKMnya orang gagah (MAPALSA red). Sekalipun tidak secara terang terangan menolak lahirnya UIN, namaun ketua MAPALSA, Zahir menjelaskan bahwa sebenarnya setuju saja dengan berdirinya UIN namun harus lebih memperhatikan nasib UKM.
Ketakutan UKM pun terbukti. Belum konversi terjadi, kenyataanya UKM telah merasa jadi tumbal perubahan besar ini. Karena di hari hari akhir bulan Ramadhan kemarin UKM-UKM di haruskan pindah dari basscampnya di belakang bekas kampus Fakultas Adab. Hal ini mesti dilakukan karena di area basscamp tersebut mengalami proses pembagunan gedung empat lantai yang rencananya akan dijadikan gedung multimedia. Akhirnya selama pembangunan UKM di tempatkan di perumahan dosen yang letaknya jauh dari jangkauan mahasiswa. Hal ini disebabkan geografis gedung-gedung tersebut terletak jauh di sisi selatan kampus IAIN. Apalagi fasilitas yang ada di gedung tersebut kurang memadai, selain sempat tidak mendapatkan fasilitas listrik hingga menggagu kegiatan mereka, gedung tersebut hanya mempunyai satu toilet dan kondisinya kumuh alias tidak layak huni. Padahal di gedung itu terdiri dari beberapa UKM yaitu IQMA, pramuka, UKPI dan solidaritas. “Sebenarnya kami di tempatkan di mitra arafah gang 8, tapi kami menolak karena terletak di luar kampus” tutur Mu`tasim Billah selaku ketua umum IQMA yang ditemui di basscamp baru IQMA. “ selain itu ruang yang disediakan juga sempit dan harus berbaur dengan anak yatim. Apalagi kegiatan harus berhenti pukul 17.00” tambah mahasiswa semester tujuh jurusan AS tersebut. Untuk masalah dana relokasi
“Diesnatalis kita sempat hampir gagal, dan masih banyak acara lain yang gagal” jawaban sekertaris UKM SB ketika disinggung masalah kegiatan yang terganggu akibat masa relokasi tersebut, masa relokasi yang sampai kini belum jelas sampai kapan akan tetap berlangsung. Karena kesimpang siuran informasi ada yang bilang sampai November 2011 dan ada juga yang menuturkan bahwa sampai sport cantre terbangun. Selama relokasi terjadi tidak pernah ada kucuran dana untuk relokasi. Dan dana 30 juta yang santer terdengar itu ternyata hanya biaya sewa jika mahasiswa mau tinggal di mitra arafah. Setidaknya itulah penuturan dajjal (sapaan akrab ketua MAPALSA).
Satu hal yang sangat disesalkan UKM adalah arogansi pihak rektorat yang tidak mengajak mahasiswa duduk bersama dalam rangka negoisasi proses relokasi yang kabarnya sudah di konfirmsikan sejak bulan Mei lalu. Apalagi pihak DEMA selaku pengayom UKM-UKM tidak pernah turun tangan dalam memperjuangankan nasib UKM. “Selama ini presiden DEMA sangat dicari anak-anak, pasalnya dia tidak pernah tampak ada di kampus” kata Pecinta Alam dengan kecewa. Menghilangnya presiden DEMA juga diamini menteri dalam negeri DEMA, Kifa. Mahasiswa semester tujuh Fakultas Ushuludin itu memaparkan bahwa presiden DEMA saat ini masih sibuk di luar.
Tapi lelaki berkacamata itu tidak memberi keterangan kesibukan presiden DEMA hingga dia tidak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus, sampai anak-anak UKM kesulitan mendapatkan ACC. Tapi di sisi lain menteri dalam negeri yang masa jabatannya akan berakhir pada akhir tahun 2010 ini jika pihak rektorat tidak pernah mengajak mahasiswa duduk bersama. Karena sebelumnya pernah diadakan mediasi di auditorium rektorat IAIN Sunan Ampel, tapi pihak UKM sendiri tidak meneriakan aspirasinya namun justru menggumam di belakangnya.
Disinggung mengenai peran DEMA dalam masalah relokasi, sofa menyatakan memang DEMA kurang berperan, tapi pihak DEMA telah berusaha mengajak UKM rembuk bareng dalam rangka pengadaan saluran listrik. Namun ketika hal ini di konfirmasikan ke salah satu UKM tepatnya UKM IQMA, mereka justru tidak tahu menahu hal ini, karena tiba-tiba saluran listrik terpasang, ini terlepas dari apakah usulan pihak DEMA atau justru inisiatif pihak rektorat sendiri.

Bagimana Persiapan Pihak Birokrat????

Mengkaji agama Islam tidaklah lengkap jika hanya mengkaji sisi religiusnya saja secara terus menerus, sementara perkembangan dunia yang semakin pesat di abad 21 ini tak terbendung dan tidak bisa ditahan. “Untuk itulah, perubahan IAIN menjadi UIN itu di dorong oleh factor kebutuhan. Karena perubahan social menuntut perubahan di lembaga ini” begitulah tutur Pak Rektor terkait obsesinya terhadap konversi IAIN menjadi UIN.
Memang demi memenuhi tuntutan zaman dan agar tidak ketinggalan era, IAIN yang selama ini terkenal dengan nilai kereligiusanya pelan-pelan menggeliat, secara bertahap merangkak mengejar ketertinggalannya dengan mengubah wujud menjadi UIN. Masih meminjam pernyataan Pak Rektor, menurut beliau bahwa santri-santri hasil gulawantahan pesantren yang mulai banyak mengambil studinya di SMA maupun SMK kesulitan masuk ke Perguruan Tinggi umum semisal ITS, UNAIR maupun UGM, hal ini disebabkan kurangnya akses. Maka UINlah yang menjadi satu-satunya harapan mereka untuk melanjutkan studinya.
Tapi Untuk menjadi UIN yang dianggap mampu sebagai alat dalam mengejar ketertinggalan itu haruslah memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya fasilitas-fasilitas akademis yang memadai, jurusan–jurusan umum bangunan fisik yang memenuhi persyaratan yang otentik, birokrasi yang professional dan lain sebagainya. Maka jika telah jelas persyaratan tersebut, apakah IAIN mampu merangkak lebih jauh lagi menuju UIN? Lalu bagaimanakah persiapan-persiapan yang telah dilakukan IAIN dalam memenuhi persyaratan tersebut?.
Pembantu Rektor I menyatakan, bahwa sudah sewajarnya bahwa IAIN wajib berubah menjadi UIN karena di IAIN sendiri telah berdiri Prodi-prodi umum seperti di Fakultas Tarbiyah ada dua prodi umum yaitu Prodi Pendidikan Matematika (PMT) dan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), di Fakultas Dakwah ada Prodi Sosiologi, Komunikasi dan Psikologi. Dan di Fakultas Syariah yang baru berdiri prodi Ekonomi Syariah. Akan sangat disayangkan jika tidak segera dirubah menjadi UIN maka prodi-prodi itu akan terancam hilang, karena PP 17 no. 10 yang menjelaskan tentang semua perguruan tinggi Islam hanya mengajarkan tentang keislaman, tidak boleh mengenai umum. Hal ini tentu saja akan memojokkan IAIN yang telah menyusupkan prodi-prodi dan jurusan umum sejak dulu. Memang UU tersebut belum diberlakukan sekarang, namun akan segera diberlakukan secepatnya.
Pihak Rektorat sepertinya telah benar-benar yakin IAIN Sunan Ampel akan berubah menjadi UIN Sunan Ampel, segala persiapan yang mengarah ke sana telah dilakukan. Menurut Pak Rektor Proposal sudah selesai dan tinggal menunggu uji kelayakan di Jakarta November mendatang, “Tapi masih butuh proses panjang, karena masih harus melalui beberapa kementerian yaitu kemeterian agama, kementrian diknas (pendidikan nasional), kementerian keuangan, bapenas untuk masalah anggaran serta kemensesneg (kementerian sekertaris negara sebelum akhirnya sampai ke presiden” tekan Rektor kelahiran tuban tersebut.
Sementara pengajuan proposal ke IDB (Islamic Development Bank) untuk pembangunan fisik kampus telah dilakukan, bahkan di tahun 2013 masalah bangunan sudah tentu clear. Dan birokrasi kampus akan segera menata sedemikian rupa guna menyambut gawe besar tersebut.
Untuk penambahan Fakultas umum tentu telah jauh-jauh hari dipersiapkan, Fakultas Science Dan Teknologi, Fakultas Social Politik dan Fakultas Kesehatan telah menjadi pilihan utama persiapan IAIN menjadi UIN. Ini guna menanggapai tantangan mengenai mulai beraninya PTN umum membuka jurusan keislaman. Misalnya UNAIR dengan departemen ekonomi islamnya, UNEJ dengan jurusan Pendidikan Agama Islam serta planing unijoyo yang rencananya akan membuka jurusan yang berbasis islam, belum lagi universitas di luar Jawa Timur. Jadi jika PTN umum mulai berani mendirikan program studi berbasis keislaman mengapa PTAIN semacam IAIN atau ‘Insya Allah’ UIN nantinya tidak berani membuka fakultas umum?.
Namun yang ditakutkan adalah, dengan hadirnya fakultas maupun program studi umum kemungkinan-kemungkinan akan lebih dominannya peminat fakultas umum ketimbang tersebut, ketimbang fakultas-fakultas maupun jurusan yang ber-embelkan Islam. Namun, masalah itupun tak luput dari pengamatan pihak rektorat. Untuk itu, ke depannya pihak rektorat akan menganggarkan lebih banyak lagi beasiswa-beasiswa yang diprioritaskan kepada peminat kajian ke-islaman. Sebab sudah menjadi tanggung jawab sebuah perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama untuk mengembangkan studi Islam. Maka dari itu, menurut Rektor UIN nantinya akan berkiblat dari langkah Universitas Al-Azhar yang memberikan beasiswa pada mahasiswa yang mengambil studi keislaman. Sehingga dengan langkah ini studi keislaman sebagai simbol eksistensi IAIN tidak akan hilang. Namun karena dana wakaf dari pemerintah Indonesia tidak bisa diandalkan, maka salah satunya adalah dengan subsidi silang antar prodi, prodi-prodi yang banyak diminati oleh mahasiswa baru akan menganggarkan pendapatan fakultasnya untuk menyokong fakultas yang kurang peminat. Ini semacam subsidi silang antar fakultas. “Dan mempertahankan kajian keislaman ini bukan hanya karena tuntutan sebagai bagian dari kementerian agama. Melainkan sebagai sebuah komitmen UIN dalam rangka gerakan mencintai ilmu keislaman.” Demikian Rektor mengakrabkan jargon tersebut. Jargon yang dianggap sebagai komitmen.
Di lain pihak, jadi UIN nantinya fakultas-fakultas yang ada tidak akan dihapus dari IAIN karena pihak rektorat tetap akan menonjolkan sisi ke-islaman dari perguruan tinggi Islam ini. Sekalipun pada kenyataanya study keislaman kini mulai sepi peminat. Tapi nantinya UIN Sunan Ampel akan melaksanakan pola seperti yang diterapkan di Universitas Al-Azhar, kairo. Dimana studi keislaman lebih diperhatikan dengan memberikan beasiswa bagi yang berminat mempelajarinya. Tapi kita tidak bisa hanya dengan mengandalkan dana wakaf dari pemerintah, maka rencananya akan menggunakan system subsidi silang antar fakultas. Maksudnya, fakultas umum yang ramai peminat sebagian pendapatannya dari mahsiswa akan disubsidikan kepada fakultas keislaman yang kurang diminati itu, guna memberikan beasiswa terhadap mahasiswa tersebut. Hal ini harus dilaksanakan karena perguruan tinggi dibawah kementerian agama wajib mengembangkan study keislaman, menurut Pak Rektor ini disebut gerakan mencintai ilmu keislaman.
Persiapan lainnya terkait perubahan tersebut, pihak rektorat telah meminta restu dari kyai-kyai yang ada di Jawa Timur, terutama kyai yang mempunyai pondok pesantren, sebelum mendeal-kan perubahan IAIN-UIN. Dan hasilnya, kyai-kyai Jawa Timur tidak melarang adanya perubahan tersebut. Memang, berdirinya IAIN Sunan Ampel ini salah satunya atas usulan dan dukungan para kyai Jawa Timur, sebagai wadah santri-santri yang telah menyelesaikan bangku pesantren dan melanjutkan ke perguruan tinggi, maka IAIN sebagai kampus islam-lah yang menjadi penampungnya. Disinggung mengenai konversi IAIN menjadi UIN yang sempat gagal karena terganjal restu dari kyai-kyai di Jatim, hingga akhirnya kita (IAIN,red) di pecundangi UIN Malang, Abdul Ala menyatakan bahwa para kyai-kyai itu justru membuka jurusan non keislaman, seperti halnya UNIPDU Jombang. Sebuah Universitas di bawah naungan yayasan pondok pesantren darul ulum.
Dalam bidang birokrasi pun, dosen kontrak sebagai salah satu cara untuk memenuhi pengajar pada fakultas baru yang tentunya belum ada di IAIN. Pemilihan dosen kontrak ini tidak lagi main angkat dan ambil, namun dosen yang berminat mengajar di UIN nantinya harus memenuhi beberapa persyaratan yang tidak hanya dilihat dari kemampuan akademisi, namun nilai kepribadian juga akan menjadi kategori dalam penyeleksian.
Pembangunan fisik tentu saja sangat urgen dalam metamorphosis IAIN ke UIN, proposal IDB pun akan segera direalisasikan menjadi gedung-gedung bertingkat yang rencananya terdiri dari empat lantai pada masing-masing Fakultas. Dua tower dengan 9 lantai pun telah dirancang sebagai mascot UIN ke depan. Tidak hanya itu, akan ada kampus baru yang bangunannya tidak satu lokasi dengan kampus IAIN sekarang, sehingga namanya pun menjadi kampus satu dan kampus dua. Dalam persiapan lahan kampus dua tersebut, pihak rektorat rencananya akan membeli 13 Hektar untuk tahun ini dan 10 hektar pada tahun berikutnya di wilayah Surabaya. “Kemungkinan pada akhir 2013 pembangunan fisik sudah selesai, maka kita bisa mengembangkan kurikulum” tegas pihak rektorat.
Terkait SPP abdul ala selaku pembantu rektor I, menjamin tidak akan ada kenaikan SPP, “Kami tidak akan menaikkan SPP, kalau semisal nanti ada kenaikan itu hanya sebatas kewajaran, justru nanti kami akan memberikan kesempatan pada masyarakat desa kelas menengah kebawah dengan memberikan beasiswa” tutur lelaki lembut dalam berbicara.
“Secara terang saya menolak BHP, karena bisa menjadi kendaraan bagi kapitalisme pendidikan. Meski akhirnya saya di cela oleh Rektor PTN lain” jelas Rector Nursyam ketika disinggung masalah biaya pendidikan. Hal ini berkaca pada pangsa pasar IAIN selama ini. IAIN selama ini merupakan salah satu perguruan tinggi dengan harga terjangkau oleh kalangan menengah dibawah. Hal ini bisa dilihat dari biaya pendidikan di IAIN jika di banding perguruan tinggi negeri lainnya di Surabaya dan malang. Tapi ini terlepas dari fasilitas yang diberikan.
Dan UIN nantinya juga akan tetap memperioritaskan alumni Pondok Pesantren sebagai konsistensi keagamaan. Sehingga tidak terjadi adanya budaya yang putus atau istilah kerennya cultural lag. tapi disinggung mengenai dampak dari gedung mewah yang tentunya juga butuh biaya operasional dan perawatan yang ekstra, Abdul Ala sebagai Pembantu Rektor 1 menjelaskan bahwa kita tidak hanya mengandalkan dana dari mahasiswa, pihak kampus juga akan melakukan kegiatan bisnis lain dan wisuda empat tahun sekali bisa di manfaatkan sebagai ajang bisnis, seperti usaha kerja sama dengan salon untuk memberikan fasilitas make up pada wisudawan/wisudawati dan penyewaan lahan stand. Selain itu, UIN juga mendapatkan jatah anggaran dari APBN maupun APBD. Sehingga SPP tidak perlu dinaikan.< Nas, Luchai>

MENYOAL PERAN MAHASISWA
Mahasiswa sebagai insan intelektual memainkan peran penting sebagai agent of change dan agent of social control. Sebagai agent of change mahasiswa menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan, utamanya dalam kehidupan masyarakat. Jatuhnya rezim orde baru menjadi bukti bahwa perubahan yakni reformasi berada dalam pengawalan mahasiswa sebagai agent of change. Begitu juga sebagai agent of social control, mahasiswa diharapkan menjadi pengawal dan pengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh para birokrat, khususnya dalam lingkup kampus. Pembatalan UU BHP adalah salah satu bukti mahasiswa konsisten dalam mengawal kebijakan.
Narasi di atas jika ditarik dalam kehidupan kampus 117 menjadi sebuah kontradiksi. Kontradiksi karena pengawalan terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat kampus hanya disepakati saja, tanpa dipertanyakan ulang, bahkan tanpa dikontrol apalagi dikritisi. Tercatat hanya dua kali demo yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai front pembela IAIN (FPI), terakhir ketika wisuda semester genap tahun 2009. Setelah itu, pengawalan terhadap wacana konversi IAIN menjadi UIN kemana ?
Tak hanya itu, penggusuran gedung UKM di pojok kampus 117 tanpa sedikitpun perlawanan memberikan penjelasan yang kian terang kalau mahasiswa di kampus ini dipertanyakan konsistensinya dalam memainkan peran sebagai agent of change dan agent of social control. “UKM, SEMA dan organ intra di kampus ini saling berkompetisi, bersaing sehingga mereka lupa akan kebersamaan dan terjebak dalam kepentingan indivdualis” ungkap Shodikin, ketua Teater Q. Dia juga menambahkan, “bersatunya semua UKM, kuatnya persatuan SEMA seluruh fakultas dan kritisnya mahasiswa adalah hal yang sangat ditakuti oleh birokrat kampus sehingga kondisi saat ini adalah semacam strategi dan sebuah pengkondisian” tuturnya.
Sementara, menurut Dzulfikar, mahasiswa Jurusan Siayasah Jinayah fakultas Syari’ah, keadaan mahasiswa yang diam dan kurang peduli dengan permasalahan kampus adalah kurangnya penyadaran terhadap diri mahasiswa akan tugasnya sebagai agent of change dan agent of social control oleh setiap organisasi yang menaunginya. Pria yang juga pegiat M. Cangkir, sebuah komunitas diskusi cangkruan sambil berfikir ini juga menyebutkan kondisi saat ini adalah sebuah produk dari konstruk budaya, trend yang menggeser budaya kritis ala mahasiswa kepada budaya instant ala paham hedonis dan pragmatis.
“Kediaman 117”, sebuah tema yang diambil oleh BEMI pada OSCAAR mahasiswa tahun 2009 memang sebagai sebuah sindiran halus terhadap keadaan kampus IAIN yang “diam”, sepi dari kekritisan mahasiswa terhadap fenomena yang terjadi di kampus, begitu juga kontrol sosial terhadap isu yang terjadi di negeri ini. Stagnan mobilisisasi mahasiswa dalam mengawal berbagai problema yang ada di dalam kampus menjadi sebuah kesimpulan terhadap keadaan mahasiswa saat ini, begitulah pesan singkat dari OSCAAR BEMI 2009 “kediaman 117”.
Dalam analisa lain, Nehru, dia mengungkapkan bahwa kondisi mahasiswa IAIN yang cenderung diam dan tidak peduli dengan kondisi kampus adalah karena orientasi mahasiswa lebih cenderung terhadap kekuasaan, saling berkompetisi untuk menguasai nonsense sehingga untuk memikirkan urusan bersama seperti kebijakan yang merugikan mahasiswa.
Mahasiswa jurusan PAI semester V ini juga menambahkan terkait konversi IAIN menjadi UIN, “saya tidak mempertahankan IAIN-nya atau mendukung UIN-nya, namun saya dari awal tidak setuju dengan system pendidikan yang ada di Indonesia, memang UU BHP yang menjadi simbol komersialisasi dunia pendidikan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi namun prakteknya masih terus berlanjut hingga saat ini”. Imbuhnya.
Di akhir perbicangannya dengan Crew Arrisalah, ada nada harapan dan kehati-hatian darinya, “Propaganda yang dilakukan birokrat kampus yang menawarkan kemajuan di kampus ini sah-sah saja namun di balik itu kepentingan politis seperti apa yang mereka inginkan? seperti jembatan suramadu yang dalam propaganda untuk memudahkan akses masyarakat pulau Jawa ke Madura namun ternyata dibalik itu ada semacam strategi untuk mempermudah distribusi sumber daya alam bahan baku nuklir yang banyak terdapat di Madura”. Tandasnya.
“Pendidikan berorientasi pada kepentingan rakyat dan paling esensi adalah bukan atas kepentingan kelas-kelas tertentu” harapnya. Dari statement yang Nehru berikan terselip sebuah pesan agar jangan sampai pendidikan yang dalam amanat undang-undang untuk mencerdaskan bangsa, tidak diboncengi dengan kepentingan politis, menciptakan sebuah kemajuan namun dengan motif profit oriented yang terselubung. Dengan profit oriented otomatis biaya pendidikan akan mahal, ketika pendidikan mahal maka hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjangkau. “Ini adalah penjajahan gaya baru, pendidikan kembali ke format masa lampau, hanya orang-orang tertentu, dalam kelas tertentu yang bisa menjangkau“ jelas mahasiswa berambut gondrong tersebut.
Terkait dengan kerjasama IAIN dengan IDB dalam realisasi konversinya, IDB yang notabenenya sebagai investor, “Setiap investor yang mencoba masuk ke dunia pendidikann dengan memberikan sumbangan dana yang seolah-olah baik namun dibalik itu ada kepentingan, yakni output mahasiswa kembali kepada mereka, seperti di ITS, sudah ada Fakultas Holcim, dsb” tandas pengemar rokok. Semoga tujuan mulia memajukan pendidikan tidak diboncengi komersialisasi yang justru akan mencoreng dunia pendidikan. (Munawwar)

Rabu, 29 Juli 2009

RESENSI Judul buku : RAHASIA BISNIS YAHUDI

Judul buku : RAHASIA BISNIS YAHUDI
Bagaimana Pengusaha Yahudi Mengendalikan Amerika, Negara-Negara Muslim Dan Dunia Dengan Kekuatan Ekonomi
Penulis : Anton arif ramdan, S.Si.
Penerbit : Zahra Publishing House
Tahun terbit : Maret, 2009
Tebal buku : 208 halaman
Peresensi : Amar munawar
“Saya yakin institusi perbankan itu lebih berbahaya bagi kebebasan kita daripada tentara kolonial. Seandainya saja rakyat Amerika Serikat mengizinkan bank-bank swasta milik Yahudi mengendalikan perputaran mata uang, melalui politik inflasi dan deflasi, maka yang terjadi adalah bank-bank dan korporasi yang tumbuh di sekitar bank-bank tersebut akan mampu merebut kekayaan rakyat sedemikian rupa, sehingga ketika anak-anak negeri ini bangun di suatu hari, mereka tidak lagi memiliki harta kekayaan dan rumah tinggal di negeri yang dibangun oleh para pendiri negeri ini. Kekuasaan bank-bank Yahudi yang mulai tumbuh harus direbut dan dikembalikan kepada rakyat, yaitu pemilik sah dari kekayaan negeri ini”(Perkataan Thomas Jefferson, presiden Amerika, dalam sidang senat Amerika Serikat tahun 1809 )
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pengusaha Yahudi kini menguasai sistem perekonomian dunia. Dengan jerat sistem yang mereka buat, para pengusaha itu memaksakan bentuk perbudakan modern kepada bangsa-bangsa lain di dunia yaitu kapitalisme. Dengan sistem yang korup ini, beserta intrik kotor lainnya, mereka membangun kerajaan bisnis yang kini mampu mencengkeram dunia dalam hegemoni mereka.
Buku ini mencoba membongkar rahasia kesuksesan para pengusaha Zionis dalam menggenggam perekonomian dunia. Kesuksesan gemilang Yahudi ini dimotori oleh strategi jitu, yaitu mencari antek-antek yang mau diajak bekerja sama, melakukan lobi politik yang kotor, melakukan suap terhadap para pejabat dan pihak terkait, mendesak pemeritah dan para pemilik perusahaan swasta untuk menjual saham dan aset mereka dengan jargon privatisasi, melakukan monopoli bisnis dengan cara kotor hingga melakukan perusakan terhadap aset perusahaan pesaing. Di samping itu, Yahudi juga mengadakan kerja sama, baik legal maupun ilegal dengan pihak bank dan badan keuangan terkait, mengancam dan membungkam pihak-pihak yang tidak mau diajak bekerja sama dan terakhir mengendalikan dan menekan media untuk melakukan fitnah terhadap perusahaan pesaingnya.
Dalam menggapai kesuksesan, bangsa Yahudi juga melakukan politik media. Dengan menguasai media masyarakat dunia, mereka dapat menyembunyikan kejahatan dan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam bahkan media digunakan untuk mnyebarkan fitnah dan kebohongan terhadap bangsa lain. Bangsa Yahudi juga menguasai bisnis hiburan. Sebut saja Sam Goldwyn, Jack dan Harry Warner dengan puasat perfilman “Hollywood”. Tidak lain tujuan mereka menguasai bisnis hiburan kecuali untuk merusak pikiran dan kehidupan bangsa-bangsa Goyim, bangsa non-Yahudi.

IMF dan World Bank yang menjadi sentral bank-bank dunia juga berada di bawah kendali bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi menjebak Negara-negara yang membutuhkan dana dengan pinjaman berbunga sangat tinggi termasuk Negara kita, Indonesia juga telah masuk dalam perangkapnya.
Selain strategi jitu tersebut, motivasi bangsa Yahudi juga didorong oleh semangat fanatisme rasis. Fanatisme Yahudi ini dipompa oleh kitab Talmud, kitab pedoman kedua Yahudi setelah kitab taurat. Dalam kitab itu, yang notabenenya merupakan karangan manusia, bangsa Yahudi selalu diunggulkan di atas bangsa lain. Hasilnya dapat kita rasakan saat ini, bangsa Yahudi-yang sampai perang dunia II masih menjadi “bangsa pinggiran”, dalam waktu yang relatif singkat bisa menjadi sebuah bangsa yang mendominasi dunia kendati populasi mereka kecil sehingga saat ini para pebisnis Yahudi telah memancangkan kekuatan bisnisnya di segala bidang membentuk sebuah imperium perekonomian yang tangguh.
Fakta telah membuktikan bahwa hampir seluruh sktor penting di dunia ini dikuasai oleh bangsa Yahudi. Siapa yang tidak kenal dengan Mikhail Khodorkovsky, Roman Abramovich dan Leonid Nevzlin? Mikhail Khodorkovsky merupakan orang terkaya nomor wahid di Rusia, sedangkan Roman Abramovich sendiri memiliki industri alumunium kelas dunia dan sang empunya klub besar Inggris, Chelsea, sementara Leonid Nevzlin juga adalah seorang pengusaha kaya raya. Mereka semua adalah potret pebisnis Yahudi yang telah sukses di negeri beruang merah.
Di Swiss ada sebuah perusahaan milik bangsa Yahudi yaitu Nestle. Perusahaan ini banyak menghasilkan produk yang telah kita kenal dan konsumsi sehari-hari, seperti penyedap rasa, MAGGI, cokelat KitKat, Milk Bar, Nescafe dan masih banyak merek lainnya. Siapa yang tidak mengenal Nokia, salah satu merek telepon genggam terlaris? Perusahaan ini didirikan oleh Fredik Idestam pada tahun 1865 di Finlandia. Tahun ini Nokia menduduki peringkat lima dunia dalam merek produk terbaik (Best Global Brand). Di dunia internet, sudah lazim bagi orang yang menggunakan mesin pencari, Google. Lagi-lagi perusahaan Google ini dimiliki oleh Sergey Brin dan Larry Page yang juga warga negara Amerika berkebangsaan Yahudi.
Yang mengagumkan dari bangsa Yahudi, mereka dapat mengendalikan sebuah Negara adikuasa sekaliber Amerika Serikat. Di balik itu, ternyata di Negara Amerika telah bercokol AIPAC (American Israel Public Affairs Commitee), sebuah lembaga yang tugasnya melobi kongres Amerika dalam membantu melancarkan agenda politik dna bisnis bangsa Yahudi.
Temukan banyak informasi tentang bangsa Yahudi di buku ini. Mulai dai bagaimana mereka membangun imperium bisnis yang kini mampu mencengkeram dunia, strategi-strategi yang mereka gunakan untuk mewujudkan kesuksesan hingga wajah-wajah pebisnis Yahudi yang telah sukses menduduki sektor-sektor ekonomi penting di seluruh dunia. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!

INTELEKTUAL YANG TERCERAHKAN” (RAUSANFIKR), SEBAGAI KONSEP KUNCI KEPEMIMPINAN MENURUT ALI SYARI’ATI.


Sang revolusioner baru telah lahir ditengah-tengah kejamnya rezim pemerintahan Iran Syah Pahlevi pada waktu itu, betapa tidak tokoh satu ini adalah salah satu tokoh yang setara dengan Khomaini, Almutohari, dan beberapa tokoh revolusi Iran (1979) lainnya, Ali Syariati dengan strategi politiknya yang khas telah memberikan sumbangsih yang tidak ternilai dalam proses penggulingan pemerintahan Reza Pahlevi yang otoriter.
Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama (Konsep Wilayah al-Faqih). Maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam (Syarat-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4) jenius; 5) memiliki kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh asing; 7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawanya; dan hidup sederhana).
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah (Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia.) Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati” Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda dengan Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “reformasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan (Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 25) Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu, kediktatoran – kaum intelektual. Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang besar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan peranan para nabi dan pendiri agama-agama besar yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat. Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes) (Azra, “Akar-Akar Ideologis …”, hlm. 70) Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal (Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), cet. VI, hlm. 42).
Oleh: Iqbal Tawakkal
(Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Jurusan Siyasah Jinayah/Hukum Tata Negara dan Pidana Islam)

Optimalisasi Perpus IAIN & Layan yang Prima ?

"Problematika perpustakaan IAIN Sunan Ampel yang sangat kompleks seperti ini. Apakah pejabat yang berwenang tidak berbenah diri. Diantara sekian banyak mahasiswa merasa dirugikan dengan problematika kebijakan IAIN tentang perpus."

Perpustakaan merupakan jantung dalam dunia pendidikan. Perpustakaan IAIN adalah salah satu unit terpenting dari perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab turut mengemban terlaksananya tri dharma perguruan tinggi yaitu: pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Dalam Undang-undang RI No.2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional menyebutkan bahwa perpustakaan merupakan sumber belajar yang amat penting sekalipun bukan satu-satunya. Sebagai sumber belajar, perpustakaan perguruan tinggi bertugas menyediakan atau mencari, mengolah, menyimpan dan membuka akses bagi pemanfaatan sunber-sunber informasi yang tersedia.
Dalam pedoman perpustaan perguruan tinggi yang dikeluarkan DIKTI "Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib menyediakan 80% dari bahan bacaan wajib mata kuliah yang ditawarkan di perguruan tinggi. Masing-masing judul bahan bacaan tersebut disediakan 3 eksemplar untuk tiap 100 mahasiswa.
Sejalan dengan misi tersebut maka perpustakaan IAIN memiliki fungsi Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pusat pembelajaran (library centered teaching), penyedia informasi sesuai dengan ruang lingkup pendidikan (education information centre), penelitian literature (library research), Sebagai sunber inspirasi serta pusat pelestarian berbagai karya ilmiah.
Namun dalam pencapaian peran dan fungsi tersebut tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Visi dan misi perpustakaan masih belum tercapai dengan optimal. Untuk mendapatkan output alumnus yang bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain sebuah institut harus memperhatikan beberapa aspek, di antaranya fasilitas-fasilitas yang mendukung. Perpustakaan IAIN memang mempunyai beberapa fasilitas katalog online (OPAC), layanan internet, layanan audio visual, layanan photo copy, layanan bimbingan pemakai dan layanan-layanan penunjang lainnya. Namun menurut (…… mahasiswa semester delapan jurusan PBI), fasilitas itu tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang ada sehingga tidak semua mahasiswa bisa menggunakannya.
Hal yang sama juga disampaikan Didik mahasiwa fakutas Dakwa, problem-problem yang ada di perpustakaan IAIN hendaknya tidak dipandang sebelah mata oleh pihak institut. Kenyataannya banyak sekali mahasiswa yang enggan ke perpustakaan disebabkan fasilitas yang kurang memadai (jumlah buku tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa), jam operasi kurang serta pelayanan yang kurang memuaskan, belum lagi fasilitas internet yang lamban, kata didik dengan kekesalan.
Pegawai perpustakaan adalah pengelola perpustakaan yang ditunjuk oleh pusat (Rektorat). Tugas mereka adalah melayani pengunjung perpustakaan dengan baik dan memberi informasi yang jelas bagi mahasiswa yang membutuhkannya. Jika dikaitkan bahwa IAIN adalah sebagai Perguruan Tinggi Islam jadi sudah sewajarnya akhlakul karimah yang dikedepankan. Akan tetapi kondisi yang kontas disampaiak banyak mahaiswa IAIN Suan Ampel.

Waktu operasi disesuaikan jam kantor
Mengenai waktu operasi perpustakaan pimpinan perpustakaan Ali Mas'ud Kholqillah, "masalah waktu perpus disesuaikan jam kantor yaitu dari jam 08.00-15.00 karena pegawai perpus kerjanya paling berat tidak ada waktu istirahat, jika kaitannya dengan jam, ini merupakan kebijakan rektorat." Ali Mas'ud menambahkan "Jika diluar batas jam kerja maka termasuk lembur,jadi akan kembali ke dana yang tidak ada."
Ach. Yasin, jam operasi pelayan perlu adanya penambahan waktu dari perpustakaan. Sekretaris jurausan Siyasah jinaya mengusulkan "hari Sabtu-Minggu dirasa kurang memungkinkah, mungkin kalo Sabtu efektif kuliah mungkin perpus bias mengikuti".
Saat dikonfirmasi masah minimya waktu pelayan perpustakan, Nur Syam selaku Rektor berjanji akan membicarakan masalah tersebut dalam rapat kordinasi jajaran pimpinan fakultas dan juga perpustakan.
"Jika ada penambahan jam pihak perpus tidak keberatan karyawan dsini siap". Ungkap pimpiamperpus pada kami.

Buku-buku baru Sudah sesuaikah?
Dalam sistem pengadaan buku perpustakaan IAIN, yaitu prosedurnya bahwa Panitia di bentuk ketika adanya dana,.Panitia penyeleksi buku terdiri 5 orang dari pihak perpus berdasarkan SK dari rector, berdasarkan masukan dari dosen dan fakultas. Kata Rizalul faqih kepala bagisan PRT.
Pembantu dekan satu fakutlas syriah menjelaskan, Pengadaan buku dilakukan satu tahun sekali, di awal tahun, kalau dulu 2 kali setahun. Mungkin karena masalah dana. Sistem pengadaan bukunya kalau dapat edaran dari panitia, pihak fakultas mencatat buku apa saja diperlukan. Judul buku 5 dan eksempar sesuai dengan kebutuhanya jadi setiap penggadaan jumlahnya tidak tentu. Di rektor sudah ada lampiran mata kuliah/ kurikulum beserta buku yang di perlukan. jadi ketika ada usulan buku baru,baru terealisasi tahun depan.
Mengenai konfirmasi judul buku adalah hubungan koordinasi antara PD I dengan perpustakaan. kami pihak jurusan tidak melakukan konfirmasi secara formal, namun hanya secara pribadi dalam rangka mengajar kata Ach. Yasin
System pengadaan buku, pihak perpus mengusulkan dan memberikan form kepada dekan selanjutnya diberikan kajur untuk judul, pengarang, penerbit buku yang diperlukan. Jika pihak fakultas tidak merespon "ya buku tetap" karena kita hanya meraba-raba buku yang diperlukan dan dianggap bahwa pihak fakultas tidak memerlukan. Untuk tahun kemaren tidak ada yang merespon, sehingga kita (perpus) ke fakultas masing-masing minta silabi. Tapi silabi di IAIN kan tetap sehingga kita memilah buku yang sekiranya baru. Tegas Ali Mas'ud.
Jumlah buku-buku yang ada di perpustakan minimal 5 untuk koleksi umum, 1 untuk tendon. Jika komponen mata kuliah dari institute minimal 10. urai pimpinan perpustakan. Pengadaan buku dilakukan setiap satu tahun sekali untuk tahun 2009 pada terakhir 29 Juni.
Ali Mas'ud mengaku, untuk masalah up-date buku relative baru, mengenai UU kadang belum ada karena jarak pengadaan bukunya lama. Adanya kendala dalam giliran peminjaman sehingga antara kapasitas dan volume kadang tidak maksimal. Mungkin jumlah buku di tandon harus diperbanyak.

Sentralisasi Perpustakan dan Ruang baca Fakultas
Dalam hal terkait sentralisasi perpus Mansur selaku koordinator tekhnis menceritakan, adanya usulan sentralisasi dimulai sejak 1996-1997 pada masa rector Bapak Jabar Alm. Adanya sentralisasi karena perpus fakultas tidak memenuhi standardnya dan buang-buang dana. Jadi pihak rector memberi kebijakan sentralisasi. Jika ada usulan perpus fakultas beliau menambahkan "nggak ada masalah, malah lebih ringan karena mhasiswa tidak banyak yang ke perpus".
Kendala untuk melahirkan kembali perpustakan fakultas, masih terganjal oleh peraturan rector yang tidak diubah. Bahkan Nursam selaku rector IAIN yang baru menegaskan bahwasanya sentralisasi perpustakan merupakan halyang final.
Hal yang sama juga diungkapkan PD I Syariah. Di institute ada peraturan sentralisasi perpus, jadi pihak fakultas tidak boleh menggadakan perpus fak."tahun dulu ada di ruang 4 namun ketika ada peraturan sentralisasi maka perpustakaan hanya ada satu". Jadi kalau membuat perpus fakultas harus izin, untuk masalah dana, gaji dan tempatnya. Memang sentralisasi perpus banyak kekurangan:kapasitas lebih sedikit karena di pakai beberapa fakultas, bukunya tidak up date namun karena ini peraturan dari institute.
Meskipun gak ada perpus khusus tapi di ruang dosen, akademik mahasiswa boleh pinjam hanya sistemnya tidak seperti perpus. Kalau masalah buku baru karena hokum selalu dinamis misalnya kalau sekarang ada wakaf tunai, Hukum Persengketan Industri, Undang-undang perlindungan saksi dan korban.
Mengenai ruang baca atau perpustakaan di fakultas, Faishal Haq selaku dekan fakultas syariah menanggapi, bahwa untuk sementara ini masalahnya belum ada tenaga untuk petugas perpustakaan itu, disamping juga saya masih meneruskan RKKLnya Abdussalam selaku mantan dekan fakultas syariah, Insya Allah bisa terealisasi tahun depan fak.syariah punya ruang baca atau perpustakaan tersendiri sehingga mahasiswa lebih mudah meminjam buku tentang hukum-hukum dan dapat melihat skripsi karya mahasiswa-mahasiswa yang dahulu.
Adnya ruang baca seperti hanya di Fakultas Dakwah, Adab Didik mahasiwa jurusan Psikologi mencotohkan di fakultasnya terdapat judul buku 332, 454 eksemplar. Untuk pendanan dari iuran mahasiswa. Pengunjung sekitar 5-50 bahkan ada dari fak syari'ah yang berkunjung. masalah iuran tidak di acc DEKAN karena adanya aturan satu pintu sehingga tidak ada iuran lagi. Pembentukan ruang baca ini dikarenakan pengajuan judul yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi tidak di realisir oleh perpus pusat.. Buka jam 08.00-15.00 masalah yang jaga dari mahasiswa yang mewakili tiap cosma dan bergilir kalau jam kosong. Peminjaman maksimal 3 hari jika lebih denda Rp.500. dengan uang denda dan print, internet sudah cukup untuk memfasilitasi ruang baca ini.
Kalo difakultas mau diadakan ruang baca atau perpustakan Nur syam membolehkanya. Akan tetapi konsekwensinya harus tanggung pihak fakultas masing-masing. Sepertihanaya pendanan tempat perpus dan pengeloanya, karena pihak Rektorat tidak mau mengeluarkan biya yang dobel dan kita tau angaran kita tidak cukup. Dan IAIN tetap menganut system sentralisasi perpustakan. []Indah, ratna.

Mulianya Wanita Dalam Naungan Islam


Di dalam Islam, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria, yaitu sebagai hamba Allah SWT. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh wanita atau pria, akan mendapat pahala yang sama, demikian juga dengan dosa. Oleh karena itu, baik pria dan wanita bebas berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Namun adakalanya Islam membedakan peran wanita dengan pria berkaitan dengan sifat kodrati masing-masing. Maksudnya, adalah satu kenyataan bahwa ketika manusia diciptakan oleh Allah ada yang berbentuk wanita dan pria. Masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan ini tentu bukan tanpa makna. Pastilah ada tugas-tugas tertentu yang akan diberikan oleh Allah kepada makhluk yang bernama wanita dan juga pria. Salah satunya wanita sebagai ibu yang melahirkan generasi sementara pria sebagai pemimpin dan pelindung keluarga itu sendiri.
Peran sebagai ibu dijalankan sejak wanita hamil, melahirkan, menyusui, hingga masa pengasuhan dan pendidikan anak. Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana kepribadian anak yang kelak terbentuk ketika dewasa, itulah hasil karya ibu, dan berkat keuletan dan ketulusan ibu jualah bermunculan generasi-generasi berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa dan agama. Wanita juga punya tanggung jawab untuk memanage rumah tangga agar dalam suasana menyenangkan sebagai tempat peristirahatan yang nyaman bagi semua anggota keluarga.
Ringankah tanggung jawab ini? Tidak, amanah ini memang tidak ringan, namun sangat mulia dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Seorang istri pemimpin dirumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.“ Karenanya Allah membebankan tugas kepemimpinan, pencarian nafkah dan perlindungan kepada pria. Dari sini terlihat, perbedaan peran wanita dan pria dalam keluarga tidak bisa dianggap sebagai bentuk penindasan atas kaum perempuan sebagaimana anggapan kaum feminis. Jika ada anggapan seperti itu, maka pria pun bisa protes, “kenapa saya harus memberi nafkah? Saya yang capek bekerja, membanting tulang siang-malam, berarti apa yang saya dapat adalah milik saya dan saya bebas menggunakannya sesuai keinginan saya.” Apabila ini terjadi, maka hancurlah bangunan keluarga.
Gagasan yang diusung para feminis, yakni menghendaki agar kaum wanita sama dengan pria (gender equality). Wanita harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama. Beban itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak, dan mengatur urusan rumah tangga.
Lalu berbondong-bondonglah kaum wanita meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan pria. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, eksploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi.
Mereka terjebak menjadi obyek eksploitasi sistem kapitalis yang memandang materi adalah segalanya. Para wanita ini, sadar dan tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Model, sales promotion girl, bintang iklan hingga profesi sebagai pelobi hampir selalu disodorkan pada kaum wanita. Mereka menjadi umpan dan bahkan sekedar “gula-gula” dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh wanita dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi. Aurat wanita dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan hoki. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum wanita antre minta di eksploitasi, bahkan semakin hari kian menggila. Tak hanya wanita dewasa, gadis-gadis ABG, sejak belia sudah mulai “dikader” untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi ini.

Aturan Islam Memanjakan Kaum Wanita
Islam sebagai “aturan main” kehidupan telah mengatur aktifitas wanita dan pria dalam menjalani kehidupan. Yang perlu dipahami adalah adakalanya aturan itu sama, namun adakalanya pula berbeda. Aturan yang sama diperintahkan oleh Allah dalam hal ibadah (seperti sholat, zakat, puasa, haji), berdakwah amar ma’ruf nahi munkar, shadaqah,menuntut ilmu, yang kesemuanya itu tidak ada perbedaan baik wanita maupun pria. Ada aturan Allah yang berbeda ketika secara fitrah yang memang berbeda. Sejak awal bentuk wanita dan pria saja sudah menunjukkan perbedaan itu, sehingga kemudian beban hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak diberikan pada wanita namun tidak pada pria.
Hanya saja, persamaan dan perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat, yaitu kebahagiaan hakiki dibawah keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap jerih payah istri dirumah sama nilainya dengan jerih payah suami dimedan jihad.” (HR. Bukhori dan Muslim). Pada dasarnya, Islam telah memberikan keistimewaan kepada para istri untuk tetap berada dirumahnya. Tetesan keringat mereka didapur dinilai sama dengan darah mujahid dimedan perang. Subhanallah..... begitu mulianya kedudukan wanita dalam naungan Islam
Namun ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa tidak berarti para wanita hanya mencukupkan diri saja di rumah tanpa peduli dengan kondisi sekitar. Ketika ia mendapati kondisi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam, maka ia harus tampil untuk ikut berdakwah melakukan perubahan di masyarakat dengan tetap melaksanakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tidak kemudian keluarnya wanita adalah memburu status atau materi yang banyak seperti yang berkembang akhir-akhir ini.
Saat ini semua orang merasakan kehidupan yang sulit atau tidak sejahtera. Kesejahteraan wanita tidak harus direalisasikan oleh wanita sendiri, pria pun bisa merealisasikannya. Karena pada dasarnya merumuskan kebijakan yang benar tidak terkait dengan jenis kelamin, namun tergantung pada pola pikir apa yang dimiliki ketika hendak memutuskan sesuatu, apakah dengan ukuran kapitalis, sosialis atau islam. Mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat secara umum berarti juga mewujudkan kesejahteraan bagi wanita. Perjuangan wanita idealnya diarahkan pada perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan pada wanita saja.
Wanita hendaknya ikut terjun dalam politik. Islam tidak melarang wanita berpolitik. Yang utama, wanita bersama pria bekerja sama melakukan pencerdasan politik Islam, memahamkan bagaimana Islam Kaffah, bagaimana Islam mengatur dan memuliakan wanita, sehingga muncul kesadaran masyarakat ingin melaksanakan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan kata lain, permasalahan kaum wanita (bahkan permasalahan seluruh manusia) hanya bisa dipecahkan dengan sebuah aturan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dan bukan buatan manusia, melainkan buatan Sang Pencipta yang telah menciptakan manusia, alam, dan kehidupan ini. Aturan itu adalah Islam. Wallahu a’lam



EKASARI FAHRANI,
Aktivis GEMA PEMBEBASAN

“Ketika Mahasiswa Bekerja Sebagai Waiter Hotel”


Ditengah berbagai aktifitas kampus yang sarat akan aktifitas keagamaan dan organisasi, ada aktifitas lain yang dilakoni mahaiswa syariah. Menjadi waiter (pelayan) di hotel berbintang. Ini pasti mengherankan.....!!! kok bis...??? bagaimana tuh ...?.
Seperti apa sebenarnya pekerjaan mereka...? Pekerjaan waiter bermacam-macam bentuk. Waiter di bidang wedding biasa diistilahkan Banquet. Istilah waiter banyak dipakai oleh pekerjaan pelayan restoran. Ada istilah Bartender untuk pelayan di kafe minuman. Waiter bekerja melayani pesanan makanan para tamu. Mereka diwajibkan berpenampilan rapi dan memakai uniform. Dalam melayani tamu mereka dituntut bersikap sopan dan profesional.
Teman-teman Syarah yang bekerja sebagai waiter diantaranya berinisial UB. Dia bekerja di Imperial Ballroom Pakuwon Lontar SBY sejak Nov 08. Pilihan bekerja sebagai waiter Wedding karena butuh uang untuk tambahan biaya hidup.” Ya buat sampingan”.Mahasiswa yang kost pada umumnya dihadapkan pada kebutuhan yang tidak sedikit.
Begitu Juga dengan mahasiswa sebut saja DK. Mahasiswi Syariah smt VlI bekerja di Hotel Empire Blauran, sejak bulan Juni 2008. Mereka bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup di Surabaya. Mahasiswa sebagai orang rantau juga penuntut ilmu, sarat banyak pengeluarannya.
Namun apakah pekerjaan yang mereka lakukan tidak menganggu kuliah? Sebagai pelajar ternyata pekerjaan ini memang mengganggu aktifitas kuliah mereka. Mahasiswa berhadapan dengan berbagai kegiatan kuliah, tugas, atau organisasi. DK merasa kuliahnya terganggu oleh pekerjaan ini, “ terganggu sedikit” ungkapnya. Hal ini juga dirasakan UB, ia tidak mau bekerja ketika hari-hari aktif. “ aku takut kuliah terganggu”. Mahasiswa banyak disibukkan dengan banyak tugas dan kegiatan kampusnya. Jika bekerja maka secara otomatis mengganggu kuliahnya.
Pada saat ini dunia perhotelan sangat diminati dan trend. Tidak heran tempat pendidikan jurusan ini selalu banyak peminatnya calon-calon mahsiswa. Ketika Arrisalah mencoba menelusuri dunia perhotelan. Sungguh sangat mengesankan. Disana tempat berbaurnya kalangan borjuis. Memiliki gaya hidup glamour , mobilitas tinggi, padat aktifitas, dan privasi. Mereka menjadi orang yang selalu ingin dilayani dengan baik dan terhormat. Gaji pun yang didapat dari pekerjaan ini cukup tinggi.
Hal ini bisa mempengaruhi siapapun yang bekerja disana, untuk lebih mendalami hal-hal yang berbau perhotelan. Mengenai rencana menekuni bidang perhotelan. Apakah mahasiswa syariah ini ada komitmen juga untuk kesana ?
DK dengan sangat bersemangat menjelaskan bahwa ada program untuk menekuni dunia perhotelan ini setelah lulus nanti, “ pasti ada rencana, kebetulan di JW Mariot ada saudaraku yang menjadi salah satu managernya “, ucapnya. Hal ini sedikit berbeda dengan Ub. Ia belum berpikir sejauh itu. Tapi dia juga tertarik. Ada benak dihatinya. Apabila dunia perhotelan mempunyai porspek bagus, maka akan dilakukan, “ ya kalau bidang ini mempunyai porspek yang bagus, apapun saya lakukan. Yang penting benar-benar bisa membantu dalam hidup saya”. Ungkap maha siswa jurusan Akhwalul As-Syahsiyyah ini.

Pengalaman hidup bagi mereka adalah hal yang utama. Pembentukan karakter, kepemimpinan, etika, soft skiil, dan sopan santun di dunia pekerjaan. Merupakan awal kesiapan menghadapi masa depan mereka. Selain itu, dengan berbaur dalam pola hidup dikalangan para elit. Mereka bisa berbaur dengan siapapun. Mulai dari penampilan yang rapi dan bersih, gaya berbicara, gaya duduk, makan, dalam bekerja, dan dalam berelasi.
Berbaur atau interaksi yang didapat dari waiter adalah berhubungan dengan berbagai kalangan, suku atau etnis. Mereka bisa melihat budaya, gaya hidup mereka yang berbeda dengan kita. Diantara mereka adalah etnis Tionghoa. Hal yang unik dari orang cina adalah makanan mereka. Ada Angsio Haisom, Sangupang, Udang Naga dan banyak lagi makanan yang jarang kita jumpai. Bahkan bisa berbaur dengan orang- orang Eropa atau Amerika.
Komentar tentang mahasiswa yang bekerja dibidang perhotelan. Pak Yazid Menjelaskan bahwa dalam kaitan dengan etos kerja, pekerjaan waiter adalah boleh. Di Fak. Syariah terdapat aspek kompetensi dan non kompetensi. Aspek kompetensi outputnya ialah hakim, pengacara, dosen. Hal ini adalah kompetensi utama. Tapi ada kompetensi yang bukan utama. Lulusan dari Fak Syariah, yang tidak terserap oleh kompetensi utama, ada kompetensi penunjang. Kompetensi penunjang ini bisa menjadi alternatif.
Lanjut beliau bahwa salah satu penyebab tidak fokusnya aktifitas mereka yakni lapangan kerja yang tidak mungkin menyerap semua lulusan. Mahasiwa syariah terlalu banyak. Realitasnya peluang usaha sangat sedikit, dan banyak persaingan. Antara Kebutuhan dan jumlah kelulusan tidak seimbang. Sehingga lulusan syariah tidak harus berada dalam kompetensi utama artinya kita tidak boleh memberikan persepsi bahwa pekerjaan tersebut( baca: waiter) dianggap tidak layak. Bila kita mengandalkan idealitas, padahal ini tidak banyak menyerap kepentingan kelulusan. “Berapa sih peluang menjadi hakim? Jaksa? Skill penunjang sekarang menjadi faktor penting”.
Mahasiswa Syariah dihadapkan pada paradigma modern. Ditengah masyarakat yang syarat dengan aktifitas keduniawian. Dunia kerja di sektor formal seperti perkantoran perkantoran, pabrik,perhotelan, teknisi. lebih membutuhkan tenaga kerja dari lulusan SMA atau sarjana ilmu umum. Sektor non formal pun begitu. Ruang lingkup pekerjaan dibidang keislaman terbatas. Tidak sedikit sarjana syariah kesulitan cari kerja.
Disini ada kebimbangan dari sarjana IAIN untuk memasuki dunia kerja. Mahasiswa syariah berkemampuan lebih dalam keilmuannya, mungkin bisa memasuki dunia kerja seperti menjadi Guru Agama, Dosen Agama, Pengadilan Agama, aktifitas sosial maupun politik. Bagaimana dengan mahasiswa yang berkemampuan sedang. Secara otomatis akan sulit bersaing. Akan menjadi suatu problem tersendiri bagi mereka.
Mahasiswa IAIN berkemampuan sedang. Mungkin mereka akan memilih pekerjaan lain diluar studinya, yang sesuai dengan skiil dan kemauannya. Untuk kelangsungan kehidupan seperti di sektor wirausahawan, pegawai pabrik atau perkantoran.
Dalam mengatasi persoalan tersebut adalah tidak mudah. Banyak hal yang perlu dibenahi baik sistem pendidikan, lembaga pendidikan pelaku pendidikan maupun lapangan dunia kerja. Masalah yang sangat komplek ini harus diatasi. Sehingga sarjana agama islam kususnya IAIN tidak risau.

Oleh : Very

GAY SYRABAYA


Saat malam menyibakkan selendang gelapnya, kehidupan mulai sedikit berubah. Keterusterangan yang terwakili matahari menjelma menjadi keadaan gelap, samar dan penuh kerahasiaan yang tertutup rapi. Malam telah menunjukan identitas alaminya, menutupi dan melindungi wujud asli dari terang. Begitupun tentang suatu identitas yang tersembunyi dari manusia, sebuah karakter yang mungkin akan sulit kita temui di kala "terang", maka temuilah mereka di saat "gelap", di saat karakter menemukan rasa aman dan komunitasnya.
Tim GoKal (Goresan Kalbu) kali ini mencoba menyisir prilaku Gay yang ada di sekitar Surabaya dengan dilematikanya saat berhadapan dengan penegak hukum dan masyarakat.
Malam mulai menggelayut rindai seiring kedatangan kami di Taman Bungkul. Kerlip lampu yang remang menambah suasana Taman yang memancing untuk berasyik-masyuk di area pertamanan itu. Bungkul sejatinya merupakan taman tempat peristirahatan atau makam seorang tokoh masyarakat. Nilai religiositas sebenarnya tengah dibangun di makam yang tertutup dinding rapi putih berhiaskan taman-taman kecil menawan.
Namun sakralitas Taman Bungkul menjadi redup tatkala melihat areal Taman yang luas menjadi ajang untuk bercengkerama dengan kekasih. Beberapa diantaranya memberikan kesan yang berbeda. Bukan karena mereka terlihat hanyut dalam buaian keindahan Taman disertai canda tawa kecil, namun mereka justru "terlihat" sebagai pasangan yang memang berkelamin sama, laki-laki dan tak ada gundah resah bermesraan layaknya sepasang kekasih "biasa".
Beberapa kalangan mengatakan mereka adalah kaum homoseksual. Menurut kamus Psikologi (Dali Gulo : 105) Homoseksualitas diartikan sebagai kecenderungan memiliki hasrat seksual dengan jenis kelamin yang sama. Sebuah karakter lain dari diri manusia yang menembus benteng moral manusia untuk mengakui bahwa memang ada karakter berbeda selain laki-laki dan perempuan.
Hawa dingin mulai berhembus merayapi setiap orang yang tengah berada di wilayah Taman Bungkul, mencicbir kita untuk menciptakan kehangatan-kehangatan baru. Semilir sepoi yang menggerakkan ranting-ranting pohon pun meliuk bersama percikan air mancur kecil yang mengitari Taman. Indah dan senyap yang khas meski berada di samping jalan raya. Kesunyian suasana menjadi sedemiaan menarik ketika kami berkenalan dengan seorang yang mengaku bernama Rizki.
Perbincangan pun menjadi mengalir bak anak sungai yang mencari celah arah, meliuk lunglai dengan arah yang tak terduga kemudian bermuara pada kesimpulan bahwa Rizki adalah seorang Gay, atau dia menyebut dirinya sendiri, sebagai aktivis Gay.
"Kebanyakan kaum Gay secara psikologi tertutup atau menutup diri dari lingkungan di sekeliling mereka, kecuali kepada sesama kaum mereka sendiri", tutur Rizky memulai mendeskripsikan Gay. Sebagai prilaku yang kurang mendapatkan tempat dalam masyarakat, karakter Gay lebih mudah diketahui lewat komunitas yang membuat mereka merasa aman.
Namun, melihat beberapa pasangan yang tengah memadu cinta kasih di bawah sorot rembulan malam ini, agaknya sifat kecenderungan menutupi identitas seperti yang diutarakan Rizki kian rapuh dan menjadi semakin kabur. Bahwa watak asli yang dulu tersekat oleh rasa khawatir kini mulai tembus dengan sikap mau "membuka" diri dengan dunia di luar komunitasnya, setidaknya hal ltu tercermin dari obrolan ringan dengan Rizki dan potret-potret kejadian yang tengah berlangsung di sekitar kami.
"Saya sangat benci," ungkap Rizki dengan tinggi, " kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Ungkapan jengkel ini terlontar saat kami menyodorkan penyataan," apakah Anda ingin sembuh?". Sebuah pertanyaan menjustifikasi bahwa dia memang dalam keadaan "sakit".
Sex Hanyalah Cairan.
Rizki, seorang yang kita temui di Taman Bungkul, adalah putra pertama dari 5 bersaudara. Keempat saudaranya adalah perempuan. Dia bekerja di salah satu toko alat-alat listrik di daerah Juanda (Bandara Udara Surabaya). Sejak mengikuti komunitas kaum Gay 10 tahun yang lalu, pihak keluarga tidak ada yang tahu. "Aku terkadang merasa takut, kalau sampai orang di sekelilingku tahu dengan keadaanku yang sebenarnya", ungkap dia dengan suara lirih.
Matanya kemudian menerawang, mencari celah-celah dukungan dan memantik empati pada orang yang diajak berbicara. Sesekali, hembusan nafasnya yang berat terlihat galau penuh tekanan yang mendera. Ketakutan yang terasa bertambah saat dia berada di dalam rumah atau saat dia disuruh pulang oleh orang tuanya. "Rasa takut tersebut, seperti rasa takut anak kecil yang sebelumnya berbuat salah", tambahnya kepada kami.
Ditanya mengenai pasangannya, dia mengutarakan kalau dirinya sama dengan kebanyakan kaum Gay lainya, tidak suka berganti-ganti pasangan. "Saya tidak mau mati sia-sia akibat penyakit sex (virus HIV AIDS)", tutur orang yang berusia kisaran 35 tahunan tersebut. "Tempat berkencan kami”,imbuhnya, “selalu tetap. Untungnya pasangan saya berada dalam satu naungan dengan saya".
Begitulah sosok di depan kami menguraikan bagan demi bagan tentang identitasnya. Serasa menemukan sebuah kepercayaan akan kami, ia lantas memberikan pernyataan mengenai esensi hubungan badan yang ia rasakan. “ Sex itu hanya cairan kok”.
Jangan bilang aku sakit
Pada kesempatan lain, kami terpental di tempat berbeda. Menyusuri lekuk panorama kehidupan Gay. Saat itu keadaan malam kian berdecak indah. Di sebuah jembatan yang bertabur lampu di sepanjang sisi kiri-kanannya, kami menyisir menyusuri jalan. Bayang-bayang sorot gemerlap hotel Sahid menemani derap langkah hingga tibalah kami di beberapa kerumunan orang. Riuh rendah canda tawa sesekali memecah keheningan malam yang mulai menawarkan kesunyian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat kami tiba di komunitas Gay di sepanjang bantaran sungai Kali Mas. Beberapa orang menyebut tempat ini dengan nama Pataya.
Tidak banyak yang kami dapatkan di sana, hanya saja pertemuan kami dengan Upiq, nama samaran yang katakan, karakter homoseksual sebenarnya memiliki 3 tahapan. Dari tahap aman, rawan hingga kritis. Saat timbul rasa suka, terkadang rasa kagum turut menyertai, dengan seorang lelaki, di situ tahapan pertama dari watak Gay muncul. Sedangkan tahapan rawan terjadi tatkala rasa suka tersebut hingga menyamai rasa cinta yang timbul antar jenis, antara lelaki dan perempuan. “ Saat kita merasa apatis terhadap wanita, maka itulah tahap kritis homoseksual”, papar Upiq dengan penuh keramahtamaan.
Gemericik air Kali Mas membuat malam Pataya terasa indah. Bulir-bulir buih yang dihasilkan bendungannya menambah warna kilau pantulan di kegelapan. Homoseksual bukanlah hal baru, tapi menjamurnya komunitas-komunitas Gay dengan sikap berani membuka diri, agaknya menjadi fenomena kekinian. Tak jarang, keterbukaan diri mengakui bahwa dirinya berbeda dalam orientasi seksual seperti ini malah mendapat respons negatif dari masyarakat.
Guru Besar Filsafat Sosial UNESA Warsono menyatakan bahwa cacian tersebut tidak lepas dari posisi masyarakat dalam membangun perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Artinya, terdapat pola pikir masyarakat yang telah terbentuk mengenai jenis kelamin serta sifat dan karakter orientasi seksual yang ditimbulkan. Sehingga ketidak-biasaan karakter homoseksual sering menarik cercaan dan hinaan dari masyarakat.
Sering pula masyarakat menganggap bahwa abnormal homoseksualitas itu bagian dari penyakit sehingga si “sakit” dirujuk untuk segera menyembuhkannya. Menaggapi hal itu, seloroh Rizki terkadang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang Gay, “"Saya sangat benci kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Begitulah sikap Rizki sebagai sosok Gay menimpali tudingan sebagian masyarakat. Cacian pun , meski juga sering dibalut rasa kasihan, tetap mengalir.
Kendati demikian, semangat untuk memperjuangkan komunitas Gay tidak surut asa. Seorang aktivis Gay sekaligus pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo, misalnya, begitu gigih menuntut persamaan derajat dan punya hak hidup. Menurutnya, manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan. Begitu juga gay. Maka seperti laki-laki dan perempuan, gay harus mendapatkan equlity dalam bermasyarakat.
Warsono menambahi, " Bila ada revolusi paradigma dalam kontrsuksi sosial, akan ada kebebasan berekspresi atau berperilaku yang sesuai keinginan kaum Gay”. Memang, bagi gay membangun pola pikir masyarakat agar menerimanya tidaklah mudah. Mereka harus mampu melebur dan berbaur dengan massa. Membangun usaha positif dan konkrit, berperan aktif pada berbagai kegiatan kemanusiaan atau sosial, program peduli pendidikan, pemberdayaan kaum minoritas atau terlantar, dan kegiatan-kegiatan lain yang bernuansa kepedulian bersama sembari memperkenalkan dirinya dan paradigmanya kepada masyarakat umum.
Sisi kehidupan gay dimata hukum.
Gay Tidak Tersentuh Oleh Peraturan Pemerintah ?
Malam menunjukkan geliatnya dengan tebaran sorot lampu remang yang menghiasi arah. Kerling bintang boleh tak terlihat, namun suasana semarak yang tampak menghiasi temaram kota Pahlawan menjadi bagian sisi kehidupan yang sedang menyala. Komunitas tertentu mengumpul, membentuk sebuah identitas yang memiliki kesamaan ciri khas dan rasa. Ikatan inilah yang kemudian melahirkan tempat-tempat tertentu. Komunitas PSK, diantaranya, ditemui di wilayah Dolly, begitupun komunitas Bencong yang sering mangkal di area Bambu Runcing. Gay pun membentuk komintas-komunitasnya sendiri, misalnya di area Monkasel (Monumen Kapal Selam) Surabaya dan Pataya.
Di Pataya, misalnya, komunitas yang kami temui ini tak ubahnya layaknya komunitas para “pria” yang tengah bercengkerama satu sama lain. Penampilan kaum gay terkesan rapi, berbaju ketat beraorama wangi membuat kami tidak yakin akan mengenali mereka jikalau berpapasan di siang hari. Mereka tampak asik bercengkrama dengan pasangannya masing-masing. Menikmati indahnya alam yang gelap.
Keberadaan gay di tempat – tempat ramai seperti itu cukup aman dari kejaran para satpol PP kota Surabaya. Walaupun, sebagian dari mereka sering melakukan aktivitas "mesum" di tempat remang-remang taman kota, gang-gang kecil. Mereka begitu pintar menyembunyikan identitas pribadinya. Hal ini yang diungkap Pak Heri, Kepala satpol PP Surabaya Selatan.
" Aturan hukum tentang gay ada . Namun, selama ini belum pernah menangkap gay. Karena sulit". Peraziaan para pelanggar kesusilaan yang dijalankan oleh Satpol PP, termasuk untuk gay, didasarkan pada Perda kota Surabaya No 7/99 tentang ketertiban umum.
PSK dan Waria tidaklah seberuntung kaum gay. Mereka selalu kawatir, dan berhati-hati agar tidak terjaring. Ketika pukul 22.00-02.00 Wib sering ada razia . Bagi yang terjaring akan dikumpulkan di Kantor Sat Pol PP Kota Surabaya, untuk didata dan diambil sampel darah. Selanjutnya disidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Hasil keputusannya, mereka dikenakan denda Rp.50.000,00. Bila tidak mampu membayar denda (subsider), akan dikurung selama tiga hari. Khusus bagi para “pemain lama” yang tertangkap lagi akan dimasukan ke Medaeng selama 1 tahun. Namun sebagian besar mereka sudah terbiasa dengan hukuman tersebut, dan akan kembali melanjutkan "pekerjaanya" yang sempat tertunda beberapa waktu.
Para gay cukup senang keberadaanya tidak diampiri oleh aparat. Walaupun oleh masyarakat mereka sering dihina. Karena keadaan dan prilakunya yang tidak wajar. Penampilan layaknya pria tulen sering mengelabui para aparat dan membingungkan Satpol PP untuk menciduknya. Termasuk kelihaian alibi mereka tatkala terendus kepribadiannya, bahkan mereka juga punya memiliki mata-mata. sehingga tidak heran Satpol PP dibuat pusing atas kelicikannya. "Mengenai gay memang agak sulit dalam membuktikan" keluh Pak Heriyanto.
Sebenarnya dalam melakukan razia tindakan asusila, Satpol PP sering dibantu oleh pihak-pihak lain. Seperti dari Polwiltabes, Denpom, Garnisun, Bakesbang Linmas, dan Dinas Kesehatan. Alasan kesulitan merazia gaya tentu benar, apalagi dikhawatirkan terjadinya kasus salah tangjap jikalau yang terazia ternyata bukan komunitas gay.
Kesamaran identitas gay menjadi alasan sukar yang dikedepankan. Akan tetapi, dengan memanfaatkan para intelijen dari kepolisian dan seorang psikiater dari Dinkes mungkin termasuk solusi tepat. Sehingga dengan penelusuran yang profesional oleh pihak intelijen mampu menyisir secara pasti tempat komunitas itu berada. Lalu pihak psikiater akan melanjutkan diagnosanya untuk menentukan apakah dia gay atau tidak.
Terlebih, otoritas keamanan masyarakat memiliki kebebasan penuh dalam mengamankan perbuatan asusila yang dilakukan gay yang kini sudah tidak sungkan-sungkan lagi memamerkan kemesraan antar sejenis di wilayah publik sekalipun.
Dus, beberapa kriteria ciri khusus juga bisa dijadikan acuan dasar dalam menindaklanjuti gay. Seperti gaya metroseksual dengan padanan tindik di telinga kiri, atau memakai slayer di tangan kiri. Bahkan menjepit koran di ketiak kiri, menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, bisa menjadi tanda bahwa orang gay untuk saling mengenali komunitasnya. Satpol PP dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menciptakan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat pun dapat leluasa untuk merazia tindakan yang dianggap melanggar norma kesusilaan yang berkembang di masyarakat. Baik tindakan asusila yang dilakukan oleh orang “biasa” maupun yang ditimbulkan oleh Pekerja Seks komersial (PSK), waria atau bencong, dan gay sekalipun.
Seorang mantan gay yang telah merasakan kehidupan gay hampir selama tiga tahun sebelum dia “ bertobat”, Upiq, menanggapi lain perihal razia para gay. “yah jangan diraziai lah tempat gay itu. Mereka biasanya menemukan rasa aman di sana”. Upiq beralasan, di Indonesia memang masih menganggap gay sebagai penyakit, atau minimal, penyakit sosial. Sehingga mereka merasakan tekanan yang begitu hebat dari orang-orang yang ada di sekililingnya. Komunitas-komunitas yang terkonsentrasikan di tempat tertentu itulah tempat mereka menemukan teman dan ketenangan. “Akan tetapi”, lanjut Upiq merujuk pada para kaum gay, "Jangan bermesum di tempat umum”.
Dan itulah sebuah potret realita kondisi masyarakat yang mewarnai kehidupan yang sudah dilakukan sejak masa nabi lut. Rizki dan Upiq merupakan salahsatu kaum yang marjinal yang tidak bisa kita pungkiri berada di sekililing kita