Rabu, 29 Juli 2009

GAY SYRABAYA


Saat malam menyibakkan selendang gelapnya, kehidupan mulai sedikit berubah. Keterusterangan yang terwakili matahari menjelma menjadi keadaan gelap, samar dan penuh kerahasiaan yang tertutup rapi. Malam telah menunjukan identitas alaminya, menutupi dan melindungi wujud asli dari terang. Begitupun tentang suatu identitas yang tersembunyi dari manusia, sebuah karakter yang mungkin akan sulit kita temui di kala "terang", maka temuilah mereka di saat "gelap", di saat karakter menemukan rasa aman dan komunitasnya.
Tim GoKal (Goresan Kalbu) kali ini mencoba menyisir prilaku Gay yang ada di sekitar Surabaya dengan dilematikanya saat berhadapan dengan penegak hukum dan masyarakat.
Malam mulai menggelayut rindai seiring kedatangan kami di Taman Bungkul. Kerlip lampu yang remang menambah suasana Taman yang memancing untuk berasyik-masyuk di area pertamanan itu. Bungkul sejatinya merupakan taman tempat peristirahatan atau makam seorang tokoh masyarakat. Nilai religiositas sebenarnya tengah dibangun di makam yang tertutup dinding rapi putih berhiaskan taman-taman kecil menawan.
Namun sakralitas Taman Bungkul menjadi redup tatkala melihat areal Taman yang luas menjadi ajang untuk bercengkerama dengan kekasih. Beberapa diantaranya memberikan kesan yang berbeda. Bukan karena mereka terlihat hanyut dalam buaian keindahan Taman disertai canda tawa kecil, namun mereka justru "terlihat" sebagai pasangan yang memang berkelamin sama, laki-laki dan tak ada gundah resah bermesraan layaknya sepasang kekasih "biasa".
Beberapa kalangan mengatakan mereka adalah kaum homoseksual. Menurut kamus Psikologi (Dali Gulo : 105) Homoseksualitas diartikan sebagai kecenderungan memiliki hasrat seksual dengan jenis kelamin yang sama. Sebuah karakter lain dari diri manusia yang menembus benteng moral manusia untuk mengakui bahwa memang ada karakter berbeda selain laki-laki dan perempuan.
Hawa dingin mulai berhembus merayapi setiap orang yang tengah berada di wilayah Taman Bungkul, mencicbir kita untuk menciptakan kehangatan-kehangatan baru. Semilir sepoi yang menggerakkan ranting-ranting pohon pun meliuk bersama percikan air mancur kecil yang mengitari Taman. Indah dan senyap yang khas meski berada di samping jalan raya. Kesunyian suasana menjadi sedemiaan menarik ketika kami berkenalan dengan seorang yang mengaku bernama Rizki.
Perbincangan pun menjadi mengalir bak anak sungai yang mencari celah arah, meliuk lunglai dengan arah yang tak terduga kemudian bermuara pada kesimpulan bahwa Rizki adalah seorang Gay, atau dia menyebut dirinya sendiri, sebagai aktivis Gay.
"Kebanyakan kaum Gay secara psikologi tertutup atau menutup diri dari lingkungan di sekeliling mereka, kecuali kepada sesama kaum mereka sendiri", tutur Rizky memulai mendeskripsikan Gay. Sebagai prilaku yang kurang mendapatkan tempat dalam masyarakat, karakter Gay lebih mudah diketahui lewat komunitas yang membuat mereka merasa aman.
Namun, melihat beberapa pasangan yang tengah memadu cinta kasih di bawah sorot rembulan malam ini, agaknya sifat kecenderungan menutupi identitas seperti yang diutarakan Rizki kian rapuh dan menjadi semakin kabur. Bahwa watak asli yang dulu tersekat oleh rasa khawatir kini mulai tembus dengan sikap mau "membuka" diri dengan dunia di luar komunitasnya, setidaknya hal ltu tercermin dari obrolan ringan dengan Rizki dan potret-potret kejadian yang tengah berlangsung di sekitar kami.
"Saya sangat benci," ungkap Rizki dengan tinggi, " kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Ungkapan jengkel ini terlontar saat kami menyodorkan penyataan," apakah Anda ingin sembuh?". Sebuah pertanyaan menjustifikasi bahwa dia memang dalam keadaan "sakit".
Sex Hanyalah Cairan.
Rizki, seorang yang kita temui di Taman Bungkul, adalah putra pertama dari 5 bersaudara. Keempat saudaranya adalah perempuan. Dia bekerja di salah satu toko alat-alat listrik di daerah Juanda (Bandara Udara Surabaya). Sejak mengikuti komunitas kaum Gay 10 tahun yang lalu, pihak keluarga tidak ada yang tahu. "Aku terkadang merasa takut, kalau sampai orang di sekelilingku tahu dengan keadaanku yang sebenarnya", ungkap dia dengan suara lirih.
Matanya kemudian menerawang, mencari celah-celah dukungan dan memantik empati pada orang yang diajak berbicara. Sesekali, hembusan nafasnya yang berat terlihat galau penuh tekanan yang mendera. Ketakutan yang terasa bertambah saat dia berada di dalam rumah atau saat dia disuruh pulang oleh orang tuanya. "Rasa takut tersebut, seperti rasa takut anak kecil yang sebelumnya berbuat salah", tambahnya kepada kami.
Ditanya mengenai pasangannya, dia mengutarakan kalau dirinya sama dengan kebanyakan kaum Gay lainya, tidak suka berganti-ganti pasangan. "Saya tidak mau mati sia-sia akibat penyakit sex (virus HIV AIDS)", tutur orang yang berusia kisaran 35 tahunan tersebut. "Tempat berkencan kami”,imbuhnya, “selalu tetap. Untungnya pasangan saya berada dalam satu naungan dengan saya".
Begitulah sosok di depan kami menguraikan bagan demi bagan tentang identitasnya. Serasa menemukan sebuah kepercayaan akan kami, ia lantas memberikan pernyataan mengenai esensi hubungan badan yang ia rasakan. “ Sex itu hanya cairan kok”.
Jangan bilang aku sakit
Pada kesempatan lain, kami terpental di tempat berbeda. Menyusuri lekuk panorama kehidupan Gay. Saat itu keadaan malam kian berdecak indah. Di sebuah jembatan yang bertabur lampu di sepanjang sisi kiri-kanannya, kami menyisir menyusuri jalan. Bayang-bayang sorot gemerlap hotel Sahid menemani derap langkah hingga tibalah kami di beberapa kerumunan orang. Riuh rendah canda tawa sesekali memecah keheningan malam yang mulai menawarkan kesunyian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat kami tiba di komunitas Gay di sepanjang bantaran sungai Kali Mas. Beberapa orang menyebut tempat ini dengan nama Pataya.
Tidak banyak yang kami dapatkan di sana, hanya saja pertemuan kami dengan Upiq, nama samaran yang katakan, karakter homoseksual sebenarnya memiliki 3 tahapan. Dari tahap aman, rawan hingga kritis. Saat timbul rasa suka, terkadang rasa kagum turut menyertai, dengan seorang lelaki, di situ tahapan pertama dari watak Gay muncul. Sedangkan tahapan rawan terjadi tatkala rasa suka tersebut hingga menyamai rasa cinta yang timbul antar jenis, antara lelaki dan perempuan. “ Saat kita merasa apatis terhadap wanita, maka itulah tahap kritis homoseksual”, papar Upiq dengan penuh keramahtamaan.
Gemericik air Kali Mas membuat malam Pataya terasa indah. Bulir-bulir buih yang dihasilkan bendungannya menambah warna kilau pantulan di kegelapan. Homoseksual bukanlah hal baru, tapi menjamurnya komunitas-komunitas Gay dengan sikap berani membuka diri, agaknya menjadi fenomena kekinian. Tak jarang, keterbukaan diri mengakui bahwa dirinya berbeda dalam orientasi seksual seperti ini malah mendapat respons negatif dari masyarakat.
Guru Besar Filsafat Sosial UNESA Warsono menyatakan bahwa cacian tersebut tidak lepas dari posisi masyarakat dalam membangun perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Artinya, terdapat pola pikir masyarakat yang telah terbentuk mengenai jenis kelamin serta sifat dan karakter orientasi seksual yang ditimbulkan. Sehingga ketidak-biasaan karakter homoseksual sering menarik cercaan dan hinaan dari masyarakat.
Sering pula masyarakat menganggap bahwa abnormal homoseksualitas itu bagian dari penyakit sehingga si “sakit” dirujuk untuk segera menyembuhkannya. Menaggapi hal itu, seloroh Rizki terkadang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang Gay, “"Saya sangat benci kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Begitulah sikap Rizki sebagai sosok Gay menimpali tudingan sebagian masyarakat. Cacian pun , meski juga sering dibalut rasa kasihan, tetap mengalir.
Kendati demikian, semangat untuk memperjuangkan komunitas Gay tidak surut asa. Seorang aktivis Gay sekaligus pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo, misalnya, begitu gigih menuntut persamaan derajat dan punya hak hidup. Menurutnya, manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan. Begitu juga gay. Maka seperti laki-laki dan perempuan, gay harus mendapatkan equlity dalam bermasyarakat.
Warsono menambahi, " Bila ada revolusi paradigma dalam kontrsuksi sosial, akan ada kebebasan berekspresi atau berperilaku yang sesuai keinginan kaum Gay”. Memang, bagi gay membangun pola pikir masyarakat agar menerimanya tidaklah mudah. Mereka harus mampu melebur dan berbaur dengan massa. Membangun usaha positif dan konkrit, berperan aktif pada berbagai kegiatan kemanusiaan atau sosial, program peduli pendidikan, pemberdayaan kaum minoritas atau terlantar, dan kegiatan-kegiatan lain yang bernuansa kepedulian bersama sembari memperkenalkan dirinya dan paradigmanya kepada masyarakat umum.
Sisi kehidupan gay dimata hukum.
Gay Tidak Tersentuh Oleh Peraturan Pemerintah ?
Malam menunjukkan geliatnya dengan tebaran sorot lampu remang yang menghiasi arah. Kerling bintang boleh tak terlihat, namun suasana semarak yang tampak menghiasi temaram kota Pahlawan menjadi bagian sisi kehidupan yang sedang menyala. Komunitas tertentu mengumpul, membentuk sebuah identitas yang memiliki kesamaan ciri khas dan rasa. Ikatan inilah yang kemudian melahirkan tempat-tempat tertentu. Komunitas PSK, diantaranya, ditemui di wilayah Dolly, begitupun komunitas Bencong yang sering mangkal di area Bambu Runcing. Gay pun membentuk komintas-komunitasnya sendiri, misalnya di area Monkasel (Monumen Kapal Selam) Surabaya dan Pataya.
Di Pataya, misalnya, komunitas yang kami temui ini tak ubahnya layaknya komunitas para “pria” yang tengah bercengkerama satu sama lain. Penampilan kaum gay terkesan rapi, berbaju ketat beraorama wangi membuat kami tidak yakin akan mengenali mereka jikalau berpapasan di siang hari. Mereka tampak asik bercengkrama dengan pasangannya masing-masing. Menikmati indahnya alam yang gelap.
Keberadaan gay di tempat – tempat ramai seperti itu cukup aman dari kejaran para satpol PP kota Surabaya. Walaupun, sebagian dari mereka sering melakukan aktivitas "mesum" di tempat remang-remang taman kota, gang-gang kecil. Mereka begitu pintar menyembunyikan identitas pribadinya. Hal ini yang diungkap Pak Heri, Kepala satpol PP Surabaya Selatan.
" Aturan hukum tentang gay ada . Namun, selama ini belum pernah menangkap gay. Karena sulit". Peraziaan para pelanggar kesusilaan yang dijalankan oleh Satpol PP, termasuk untuk gay, didasarkan pada Perda kota Surabaya No 7/99 tentang ketertiban umum.
PSK dan Waria tidaklah seberuntung kaum gay. Mereka selalu kawatir, dan berhati-hati agar tidak terjaring. Ketika pukul 22.00-02.00 Wib sering ada razia . Bagi yang terjaring akan dikumpulkan di Kantor Sat Pol PP Kota Surabaya, untuk didata dan diambil sampel darah. Selanjutnya disidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Hasil keputusannya, mereka dikenakan denda Rp.50.000,00. Bila tidak mampu membayar denda (subsider), akan dikurung selama tiga hari. Khusus bagi para “pemain lama” yang tertangkap lagi akan dimasukan ke Medaeng selama 1 tahun. Namun sebagian besar mereka sudah terbiasa dengan hukuman tersebut, dan akan kembali melanjutkan "pekerjaanya" yang sempat tertunda beberapa waktu.
Para gay cukup senang keberadaanya tidak diampiri oleh aparat. Walaupun oleh masyarakat mereka sering dihina. Karena keadaan dan prilakunya yang tidak wajar. Penampilan layaknya pria tulen sering mengelabui para aparat dan membingungkan Satpol PP untuk menciduknya. Termasuk kelihaian alibi mereka tatkala terendus kepribadiannya, bahkan mereka juga punya memiliki mata-mata. sehingga tidak heran Satpol PP dibuat pusing atas kelicikannya. "Mengenai gay memang agak sulit dalam membuktikan" keluh Pak Heriyanto.
Sebenarnya dalam melakukan razia tindakan asusila, Satpol PP sering dibantu oleh pihak-pihak lain. Seperti dari Polwiltabes, Denpom, Garnisun, Bakesbang Linmas, dan Dinas Kesehatan. Alasan kesulitan merazia gaya tentu benar, apalagi dikhawatirkan terjadinya kasus salah tangjap jikalau yang terazia ternyata bukan komunitas gay.
Kesamaran identitas gay menjadi alasan sukar yang dikedepankan. Akan tetapi, dengan memanfaatkan para intelijen dari kepolisian dan seorang psikiater dari Dinkes mungkin termasuk solusi tepat. Sehingga dengan penelusuran yang profesional oleh pihak intelijen mampu menyisir secara pasti tempat komunitas itu berada. Lalu pihak psikiater akan melanjutkan diagnosanya untuk menentukan apakah dia gay atau tidak.
Terlebih, otoritas keamanan masyarakat memiliki kebebasan penuh dalam mengamankan perbuatan asusila yang dilakukan gay yang kini sudah tidak sungkan-sungkan lagi memamerkan kemesraan antar sejenis di wilayah publik sekalipun.
Dus, beberapa kriteria ciri khusus juga bisa dijadikan acuan dasar dalam menindaklanjuti gay. Seperti gaya metroseksual dengan padanan tindik di telinga kiri, atau memakai slayer di tangan kiri. Bahkan menjepit koran di ketiak kiri, menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, bisa menjadi tanda bahwa orang gay untuk saling mengenali komunitasnya. Satpol PP dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menciptakan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat pun dapat leluasa untuk merazia tindakan yang dianggap melanggar norma kesusilaan yang berkembang di masyarakat. Baik tindakan asusila yang dilakukan oleh orang “biasa” maupun yang ditimbulkan oleh Pekerja Seks komersial (PSK), waria atau bencong, dan gay sekalipun.
Seorang mantan gay yang telah merasakan kehidupan gay hampir selama tiga tahun sebelum dia “ bertobat”, Upiq, menanggapi lain perihal razia para gay. “yah jangan diraziai lah tempat gay itu. Mereka biasanya menemukan rasa aman di sana”. Upiq beralasan, di Indonesia memang masih menganggap gay sebagai penyakit, atau minimal, penyakit sosial. Sehingga mereka merasakan tekanan yang begitu hebat dari orang-orang yang ada di sekililingnya. Komunitas-komunitas yang terkonsentrasikan di tempat tertentu itulah tempat mereka menemukan teman dan ketenangan. “Akan tetapi”, lanjut Upiq merujuk pada para kaum gay, "Jangan bermesum di tempat umum”.
Dan itulah sebuah potret realita kondisi masyarakat yang mewarnai kehidupan yang sudah dilakukan sejak masa nabi lut. Rizki dan Upiq merupakan salahsatu kaum yang marjinal yang tidak bisa kita pungkiri berada di sekililing kita

1 komentar:

  1. Ketua homo surabaya yang narsis sekaligus najis
    ne dia ketuanya :

    www.manjam.com/belamino
    www.manjam.com/kobudi
    www.manjam.com/dijan
    www.manjam.com/budijantoko

    bagi lom tau neh gw kasi tau, orangnya sih ngakunya masih usia 30, di 4 website dia usianya beda-beda (dasar saiko ya), yang di budijantoko usianya dah 43, yang lain usianya 30an, ngakunya (dia ndiri yg bilang kalao dia CAKEP), gak punya cermin kaleee....., trus hobby koleksi underwear ( sarap 'kallee ya, hoby gak penting dipamerin), ada yg bilang dulu dia calon kontestan reality show be a man, entah benerb gaknya gw gak tau, kalo lagi berenang di Atlas darmahusada ati ati aja kalo ketemu ma dia, bisa-2 diajak kencan ama mandi bareng hiii seyem,!!

    BalasHapus