Rabu, 29 Juli 2009

RESENSI Judul buku : RAHASIA BISNIS YAHUDI

Judul buku : RAHASIA BISNIS YAHUDI
Bagaimana Pengusaha Yahudi Mengendalikan Amerika, Negara-Negara Muslim Dan Dunia Dengan Kekuatan Ekonomi
Penulis : Anton arif ramdan, S.Si.
Penerbit : Zahra Publishing House
Tahun terbit : Maret, 2009
Tebal buku : 208 halaman
Peresensi : Amar munawar
“Saya yakin institusi perbankan itu lebih berbahaya bagi kebebasan kita daripada tentara kolonial. Seandainya saja rakyat Amerika Serikat mengizinkan bank-bank swasta milik Yahudi mengendalikan perputaran mata uang, melalui politik inflasi dan deflasi, maka yang terjadi adalah bank-bank dan korporasi yang tumbuh di sekitar bank-bank tersebut akan mampu merebut kekayaan rakyat sedemikian rupa, sehingga ketika anak-anak negeri ini bangun di suatu hari, mereka tidak lagi memiliki harta kekayaan dan rumah tinggal di negeri yang dibangun oleh para pendiri negeri ini. Kekuasaan bank-bank Yahudi yang mulai tumbuh harus direbut dan dikembalikan kepada rakyat, yaitu pemilik sah dari kekayaan negeri ini”(Perkataan Thomas Jefferson, presiden Amerika, dalam sidang senat Amerika Serikat tahun 1809 )
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pengusaha Yahudi kini menguasai sistem perekonomian dunia. Dengan jerat sistem yang mereka buat, para pengusaha itu memaksakan bentuk perbudakan modern kepada bangsa-bangsa lain di dunia yaitu kapitalisme. Dengan sistem yang korup ini, beserta intrik kotor lainnya, mereka membangun kerajaan bisnis yang kini mampu mencengkeram dunia dalam hegemoni mereka.
Buku ini mencoba membongkar rahasia kesuksesan para pengusaha Zionis dalam menggenggam perekonomian dunia. Kesuksesan gemilang Yahudi ini dimotori oleh strategi jitu, yaitu mencari antek-antek yang mau diajak bekerja sama, melakukan lobi politik yang kotor, melakukan suap terhadap para pejabat dan pihak terkait, mendesak pemeritah dan para pemilik perusahaan swasta untuk menjual saham dan aset mereka dengan jargon privatisasi, melakukan monopoli bisnis dengan cara kotor hingga melakukan perusakan terhadap aset perusahaan pesaing. Di samping itu, Yahudi juga mengadakan kerja sama, baik legal maupun ilegal dengan pihak bank dan badan keuangan terkait, mengancam dan membungkam pihak-pihak yang tidak mau diajak bekerja sama dan terakhir mengendalikan dan menekan media untuk melakukan fitnah terhadap perusahaan pesaingnya.
Dalam menggapai kesuksesan, bangsa Yahudi juga melakukan politik media. Dengan menguasai media masyarakat dunia, mereka dapat menyembunyikan kejahatan dan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam bahkan media digunakan untuk mnyebarkan fitnah dan kebohongan terhadap bangsa lain. Bangsa Yahudi juga menguasai bisnis hiburan. Sebut saja Sam Goldwyn, Jack dan Harry Warner dengan puasat perfilman “Hollywood”. Tidak lain tujuan mereka menguasai bisnis hiburan kecuali untuk merusak pikiran dan kehidupan bangsa-bangsa Goyim, bangsa non-Yahudi.

IMF dan World Bank yang menjadi sentral bank-bank dunia juga berada di bawah kendali bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi menjebak Negara-negara yang membutuhkan dana dengan pinjaman berbunga sangat tinggi termasuk Negara kita, Indonesia juga telah masuk dalam perangkapnya.
Selain strategi jitu tersebut, motivasi bangsa Yahudi juga didorong oleh semangat fanatisme rasis. Fanatisme Yahudi ini dipompa oleh kitab Talmud, kitab pedoman kedua Yahudi setelah kitab taurat. Dalam kitab itu, yang notabenenya merupakan karangan manusia, bangsa Yahudi selalu diunggulkan di atas bangsa lain. Hasilnya dapat kita rasakan saat ini, bangsa Yahudi-yang sampai perang dunia II masih menjadi “bangsa pinggiran”, dalam waktu yang relatif singkat bisa menjadi sebuah bangsa yang mendominasi dunia kendati populasi mereka kecil sehingga saat ini para pebisnis Yahudi telah memancangkan kekuatan bisnisnya di segala bidang membentuk sebuah imperium perekonomian yang tangguh.
Fakta telah membuktikan bahwa hampir seluruh sktor penting di dunia ini dikuasai oleh bangsa Yahudi. Siapa yang tidak kenal dengan Mikhail Khodorkovsky, Roman Abramovich dan Leonid Nevzlin? Mikhail Khodorkovsky merupakan orang terkaya nomor wahid di Rusia, sedangkan Roman Abramovich sendiri memiliki industri alumunium kelas dunia dan sang empunya klub besar Inggris, Chelsea, sementara Leonid Nevzlin juga adalah seorang pengusaha kaya raya. Mereka semua adalah potret pebisnis Yahudi yang telah sukses di negeri beruang merah.
Di Swiss ada sebuah perusahaan milik bangsa Yahudi yaitu Nestle. Perusahaan ini banyak menghasilkan produk yang telah kita kenal dan konsumsi sehari-hari, seperti penyedap rasa, MAGGI, cokelat KitKat, Milk Bar, Nescafe dan masih banyak merek lainnya. Siapa yang tidak mengenal Nokia, salah satu merek telepon genggam terlaris? Perusahaan ini didirikan oleh Fredik Idestam pada tahun 1865 di Finlandia. Tahun ini Nokia menduduki peringkat lima dunia dalam merek produk terbaik (Best Global Brand). Di dunia internet, sudah lazim bagi orang yang menggunakan mesin pencari, Google. Lagi-lagi perusahaan Google ini dimiliki oleh Sergey Brin dan Larry Page yang juga warga negara Amerika berkebangsaan Yahudi.
Yang mengagumkan dari bangsa Yahudi, mereka dapat mengendalikan sebuah Negara adikuasa sekaliber Amerika Serikat. Di balik itu, ternyata di Negara Amerika telah bercokol AIPAC (American Israel Public Affairs Commitee), sebuah lembaga yang tugasnya melobi kongres Amerika dalam membantu melancarkan agenda politik dna bisnis bangsa Yahudi.
Temukan banyak informasi tentang bangsa Yahudi di buku ini. Mulai dai bagaimana mereka membangun imperium bisnis yang kini mampu mencengkeram dunia, strategi-strategi yang mereka gunakan untuk mewujudkan kesuksesan hingga wajah-wajah pebisnis Yahudi yang telah sukses menduduki sektor-sektor ekonomi penting di seluruh dunia. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!

INTELEKTUAL YANG TERCERAHKAN” (RAUSANFIKR), SEBAGAI KONSEP KUNCI KEPEMIMPINAN MENURUT ALI SYARI’ATI.


Sang revolusioner baru telah lahir ditengah-tengah kejamnya rezim pemerintahan Iran Syah Pahlevi pada waktu itu, betapa tidak tokoh satu ini adalah salah satu tokoh yang setara dengan Khomaini, Almutohari, dan beberapa tokoh revolusi Iran (1979) lainnya, Ali Syariati dengan strategi politiknya yang khas telah memberikan sumbangsih yang tidak ternilai dalam proses penggulingan pemerintahan Reza Pahlevi yang otoriter.
Ali Syari’ati mempunyai pandangan yang berbeda dengan Imam Khomeini tentang konsep kunci kepemimpinan. Jika Imam Khomeini menempatkan kaum ulama sebagai otoritas tertinggi dalam bidang politik maupun agama (Konsep Wilayah al-Faqih). Maka Syari’ati menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya menempatkan kaum “intelektual yang tercerahkan” (rausanfikr), sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Imam Khomeini, selama ghaibnya Imam Mahdi kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak para faqîh (fuqâhâ). Sekali seorang faqîh berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam, maka rakyat dan para faqîh lain wajib mengikutinya, karena dia akan memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, menurut Imam Khomeini, tidak semua faqîh qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqîh untuk bisa memimpin pemerintahan Islam (Syarat-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara lain: 1) mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; 2) harus adil, dalam arti memiliki iman dan akhlaq yang tinggi; 3) dapat dipercaya dan berbudi luhur; 4) jenius; 5) memiliki kemampuan administratif; 6) bebas dari segala pengaruh asing; 7) mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas teritorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawanya; dan hidup sederhana).
Konsep Wilâyah al-Faqîh memang didasarkan pada prinsip imâmah yang menjadi salah satu keimanan Syi’ah Imâmiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilâyah al-Faqîh dimaksudkan untuk “mengisi kekosongan politik” selama masa ghaibnya Imam kedua belas (Al-Mahdi). Pada masa keghaiban itu, Faqîh – yang memenuhi syarat – berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep Wilâyah al-Faqîh, keberadaan sebuah pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi’ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin imâmah (Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang mengikat dalam masalah yang mempengaruhi kesejahteraan umat manusia.) Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami, maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan historis, imâmah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Otoritas temporal imam dipandang sebagai telah “dijarah” oleh dinasti yang berkuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang sebagai hujjah Tuhan mengenai kemahakuasaan-Nya, yang diberi kuasa untuk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai “imam sejati” Dengan berfusinya nasionalisme Iran dan Islam Syi’ah, orang-orang Iran, termasuk para ulama Syi’ahnya, tidak pernah merasakan adanya konflik antara Islam dan nasionalisme Iran. Namun, sebagian ulama Syi’ah menolak segala bentuk “kolaborasi” antara raja dan ulama, termasuk dalam arti raja dalam posisi “superior” dan ulama “inferior”. Imam Khomeini termasuk berada dalam deretan ulama yang menetang keras kekuasaan raja. Walaupun dalam Kasyf al-Asyrâr, ia masih bisa menerima keberadaan lembaga monarki konstitusional, namun dalam Hukûmah Islamiyah, Khomeini secara tegas menolak sistem monarki. Baginya, hanya ada satu sitem kenegaraan yang sesuai dengan Islam, yaitu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang fâqih atau dewan fuqahâ.
Berbeda dengan Imam Khomeini, Ali Syari’ati tidak setuju dengan peranan yang terlalu besar dari para mujtahîd (ulama). Bagi Syari’ati, mereka yang bukan ulama bisa jadi dapat memahami ajaran Islam dengan lebih baik; berfikir dan hidup dengan cara Islami yang lebih murni, dibanding ahli hukum atau filosof. Syari’ati bahkan menyalahkan ulama dengan adanya keberhasilan yang diperoleh oleh para imperialis, karena akibat “kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para pemuda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat”. Tidak mengherankan jika hanya sedikit karya Syari’ati yang sesuai dengan paham para ulama.
Menurut Syari’ati, kaum intelektual merupakan para eksponen real dari Islam yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “reformasi” Islam. Oleh sebab itu, betapa pentingnya kaum intelektual Muslim menghubungkan dirinya dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama jihad yang menentang penindasan dan menegakkan keadilan (Jalaluddin Rakhmad, “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil Albab”, pengantar dalam Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 25) Syari’ati berkeyakinan bahwa pemeritahan kaum intelektual merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diterima dan diperlukan setelah revolusi. Dengan kata lain, Syari’ati mendukung suatu pemerintahan – atau lebih dari itu, kediktatoran – kaum intelektual. Syari’ati tegas-tegas menolak jika imâmah diartikan sebagai pemberian kekuasaan yang besar kepada kaum ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Sebaliknya, mereka yang non-ulama, khususnya kaum intelektual yang tercerahkan (rausanfikr), adalah yang paling berhak mengendalikan kekuasaan selama masa ghaibnya Imam Mahdi.
Secara khusus Syari’ati mengidentifikasi kelompok orang-orang yang tercerahkan berasal dari golongan orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan memberikan rasa tanggungjawab sosial. Pada prinsipnya, kata Syari’ati, tanggungjawab dan peranan orang-orang masa kini yang tercerahkan di dunia ini sama dengan tanggungjawab dan peranan para nabi dan pendiri agama-agama besar yaitu para pemimpin yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mereka itu, lanjut Syari’ati, tidak harus seseorang yang mewarisi dan melanjutkan karya-karya Galileo, Copernicus, Socrates, Aristoteles, dan Ibn Sina. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah kepekaan sosial dan politik dalam melihat persoalan-persoalan masyarakat. Di saat masyarakat, dalam konteks ini adalah masyarakat Iran, sebagaimana juga masyarakat lainnya di Dunia Ketiga, sedang mengalami keterpurukan identitas nasional dan disparitas (kesenjangan) sosial ekonomi yang sangat lebar, ia memerlukan dua bentuk revolusi yung saling berkaitan. Pertama, revolusi nasional, yang bertujuan bukan hanya untuk mengakhiri seluruh bentuk dominasi Barat, tetapi juga untuk merevitalisasi kebudayaan dan identiras nasional negara Dunia Ketiga bersangkutan. Kedua, revolusi sosial untuk menghapuskan semua bentuk eksploitasi dan kemiskinan guna menciptakan masyarakat yang adil, dinamis dan “tanpa kelas” (classes) (Azra, “Akar-Akar Ideologis …”, hlm. 70) Lantas siapa yang akan menjadi agen revolusi ini?
Ali Syari’ati secara tegas menyatakan bahwa orang yang tercerahkan (rausanfikr) itulah yang harus memulai langkah-langkah strategis revolusi nasional maupun sosial:
Orang-orang yang tercerahkan (rausanfikr) itu, kata Syari’ati, mempunyai tanggungjwab yang besar yaitu mencari sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya. Lebih dari itu, lanjut Syari’ati, ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris mereka yang tragis. Kemudian, dengan berpijak pada sumber-sumber tanggungjawab, kebutuhan-kebutuhan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang akan memungkinkan rakyatnya membebaskan diri mereka dari status quo. Berdasarkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu, orang yang tercerahkan, masih menurut Syari’ati, harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan, serta faktor internal dan eksternal (Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), cet. VI, hlm. 42).
Oleh: Iqbal Tawakkal
(Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Jurusan Siyasah Jinayah/Hukum Tata Negara dan Pidana Islam)

Optimalisasi Perpus IAIN & Layan yang Prima ?

"Problematika perpustakaan IAIN Sunan Ampel yang sangat kompleks seperti ini. Apakah pejabat yang berwenang tidak berbenah diri. Diantara sekian banyak mahasiswa merasa dirugikan dengan problematika kebijakan IAIN tentang perpus."

Perpustakaan merupakan jantung dalam dunia pendidikan. Perpustakaan IAIN adalah salah satu unit terpenting dari perguruan tinggi yang memiliki tanggung jawab turut mengemban terlaksananya tri dharma perguruan tinggi yaitu: pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Dalam Undang-undang RI No.2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional menyebutkan bahwa perpustakaan merupakan sumber belajar yang amat penting sekalipun bukan satu-satunya. Sebagai sumber belajar, perpustakaan perguruan tinggi bertugas menyediakan atau mencari, mengolah, menyimpan dan membuka akses bagi pemanfaatan sunber-sunber informasi yang tersedia.
Dalam pedoman perpustaan perguruan tinggi yang dikeluarkan DIKTI "Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib menyediakan 80% dari bahan bacaan wajib mata kuliah yang ditawarkan di perguruan tinggi. Masing-masing judul bahan bacaan tersebut disediakan 3 eksemplar untuk tiap 100 mahasiswa.
Sejalan dengan misi tersebut maka perpustakaan IAIN memiliki fungsi Sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pusat pembelajaran (library centered teaching), penyedia informasi sesuai dengan ruang lingkup pendidikan (education information centre), penelitian literature (library research), Sebagai sunber inspirasi serta pusat pelestarian berbagai karya ilmiah.
Namun dalam pencapaian peran dan fungsi tersebut tidak sesuai dengan realita yang terjadi di lapangan. Visi dan misi perpustakaan masih belum tercapai dengan optimal. Untuk mendapatkan output alumnus yang bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain sebuah institut harus memperhatikan beberapa aspek, di antaranya fasilitas-fasilitas yang mendukung. Perpustakaan IAIN memang mempunyai beberapa fasilitas katalog online (OPAC), layanan internet, layanan audio visual, layanan photo copy, layanan bimbingan pemakai dan layanan-layanan penunjang lainnya. Namun menurut (…… mahasiswa semester delapan jurusan PBI), fasilitas itu tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang ada sehingga tidak semua mahasiswa bisa menggunakannya.
Hal yang sama juga disampaikan Didik mahasiwa fakutas Dakwa, problem-problem yang ada di perpustakaan IAIN hendaknya tidak dipandang sebelah mata oleh pihak institut. Kenyataannya banyak sekali mahasiswa yang enggan ke perpustakaan disebabkan fasilitas yang kurang memadai (jumlah buku tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa), jam operasi kurang serta pelayanan yang kurang memuaskan, belum lagi fasilitas internet yang lamban, kata didik dengan kekesalan.
Pegawai perpustakaan adalah pengelola perpustakaan yang ditunjuk oleh pusat (Rektorat). Tugas mereka adalah melayani pengunjung perpustakaan dengan baik dan memberi informasi yang jelas bagi mahasiswa yang membutuhkannya. Jika dikaitkan bahwa IAIN adalah sebagai Perguruan Tinggi Islam jadi sudah sewajarnya akhlakul karimah yang dikedepankan. Akan tetapi kondisi yang kontas disampaiak banyak mahaiswa IAIN Suan Ampel.

Waktu operasi disesuaikan jam kantor
Mengenai waktu operasi perpustakaan pimpinan perpustakaan Ali Mas'ud Kholqillah, "masalah waktu perpus disesuaikan jam kantor yaitu dari jam 08.00-15.00 karena pegawai perpus kerjanya paling berat tidak ada waktu istirahat, jika kaitannya dengan jam, ini merupakan kebijakan rektorat." Ali Mas'ud menambahkan "Jika diluar batas jam kerja maka termasuk lembur,jadi akan kembali ke dana yang tidak ada."
Ach. Yasin, jam operasi pelayan perlu adanya penambahan waktu dari perpustakaan. Sekretaris jurausan Siyasah jinaya mengusulkan "hari Sabtu-Minggu dirasa kurang memungkinkah, mungkin kalo Sabtu efektif kuliah mungkin perpus bias mengikuti".
Saat dikonfirmasi masah minimya waktu pelayan perpustakan, Nur Syam selaku Rektor berjanji akan membicarakan masalah tersebut dalam rapat kordinasi jajaran pimpinan fakultas dan juga perpustakan.
"Jika ada penambahan jam pihak perpus tidak keberatan karyawan dsini siap". Ungkap pimpiamperpus pada kami.

Buku-buku baru Sudah sesuaikah?
Dalam sistem pengadaan buku perpustakaan IAIN, yaitu prosedurnya bahwa Panitia di bentuk ketika adanya dana,.Panitia penyeleksi buku terdiri 5 orang dari pihak perpus berdasarkan SK dari rector, berdasarkan masukan dari dosen dan fakultas. Kata Rizalul faqih kepala bagisan PRT.
Pembantu dekan satu fakutlas syriah menjelaskan, Pengadaan buku dilakukan satu tahun sekali, di awal tahun, kalau dulu 2 kali setahun. Mungkin karena masalah dana. Sistem pengadaan bukunya kalau dapat edaran dari panitia, pihak fakultas mencatat buku apa saja diperlukan. Judul buku 5 dan eksempar sesuai dengan kebutuhanya jadi setiap penggadaan jumlahnya tidak tentu. Di rektor sudah ada lampiran mata kuliah/ kurikulum beserta buku yang di perlukan. jadi ketika ada usulan buku baru,baru terealisasi tahun depan.
Mengenai konfirmasi judul buku adalah hubungan koordinasi antara PD I dengan perpustakaan. kami pihak jurusan tidak melakukan konfirmasi secara formal, namun hanya secara pribadi dalam rangka mengajar kata Ach. Yasin
System pengadaan buku, pihak perpus mengusulkan dan memberikan form kepada dekan selanjutnya diberikan kajur untuk judul, pengarang, penerbit buku yang diperlukan. Jika pihak fakultas tidak merespon "ya buku tetap" karena kita hanya meraba-raba buku yang diperlukan dan dianggap bahwa pihak fakultas tidak memerlukan. Untuk tahun kemaren tidak ada yang merespon, sehingga kita (perpus) ke fakultas masing-masing minta silabi. Tapi silabi di IAIN kan tetap sehingga kita memilah buku yang sekiranya baru. Tegas Ali Mas'ud.
Jumlah buku-buku yang ada di perpustakan minimal 5 untuk koleksi umum, 1 untuk tendon. Jika komponen mata kuliah dari institute minimal 10. urai pimpinan perpustakan. Pengadaan buku dilakukan setiap satu tahun sekali untuk tahun 2009 pada terakhir 29 Juni.
Ali Mas'ud mengaku, untuk masalah up-date buku relative baru, mengenai UU kadang belum ada karena jarak pengadaan bukunya lama. Adanya kendala dalam giliran peminjaman sehingga antara kapasitas dan volume kadang tidak maksimal. Mungkin jumlah buku di tandon harus diperbanyak.

Sentralisasi Perpustakan dan Ruang baca Fakultas
Dalam hal terkait sentralisasi perpus Mansur selaku koordinator tekhnis menceritakan, adanya usulan sentralisasi dimulai sejak 1996-1997 pada masa rector Bapak Jabar Alm. Adanya sentralisasi karena perpus fakultas tidak memenuhi standardnya dan buang-buang dana. Jadi pihak rector memberi kebijakan sentralisasi. Jika ada usulan perpus fakultas beliau menambahkan "nggak ada masalah, malah lebih ringan karena mhasiswa tidak banyak yang ke perpus".
Kendala untuk melahirkan kembali perpustakan fakultas, masih terganjal oleh peraturan rector yang tidak diubah. Bahkan Nursam selaku rector IAIN yang baru menegaskan bahwasanya sentralisasi perpustakan merupakan halyang final.
Hal yang sama juga diungkapkan PD I Syariah. Di institute ada peraturan sentralisasi perpus, jadi pihak fakultas tidak boleh menggadakan perpus fak."tahun dulu ada di ruang 4 namun ketika ada peraturan sentralisasi maka perpustakaan hanya ada satu". Jadi kalau membuat perpus fakultas harus izin, untuk masalah dana, gaji dan tempatnya. Memang sentralisasi perpus banyak kekurangan:kapasitas lebih sedikit karena di pakai beberapa fakultas, bukunya tidak up date namun karena ini peraturan dari institute.
Meskipun gak ada perpus khusus tapi di ruang dosen, akademik mahasiswa boleh pinjam hanya sistemnya tidak seperti perpus. Kalau masalah buku baru karena hokum selalu dinamis misalnya kalau sekarang ada wakaf tunai, Hukum Persengketan Industri, Undang-undang perlindungan saksi dan korban.
Mengenai ruang baca atau perpustakaan di fakultas, Faishal Haq selaku dekan fakultas syariah menanggapi, bahwa untuk sementara ini masalahnya belum ada tenaga untuk petugas perpustakaan itu, disamping juga saya masih meneruskan RKKLnya Abdussalam selaku mantan dekan fakultas syariah, Insya Allah bisa terealisasi tahun depan fak.syariah punya ruang baca atau perpustakaan tersendiri sehingga mahasiswa lebih mudah meminjam buku tentang hukum-hukum dan dapat melihat skripsi karya mahasiswa-mahasiswa yang dahulu.
Adnya ruang baca seperti hanya di Fakultas Dakwah, Adab Didik mahasiwa jurusan Psikologi mencotohkan di fakultasnya terdapat judul buku 332, 454 eksemplar. Untuk pendanan dari iuran mahasiswa. Pengunjung sekitar 5-50 bahkan ada dari fak syari'ah yang berkunjung. masalah iuran tidak di acc DEKAN karena adanya aturan satu pintu sehingga tidak ada iuran lagi. Pembentukan ruang baca ini dikarenakan pengajuan judul yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi tidak di realisir oleh perpus pusat.. Buka jam 08.00-15.00 masalah yang jaga dari mahasiswa yang mewakili tiap cosma dan bergilir kalau jam kosong. Peminjaman maksimal 3 hari jika lebih denda Rp.500. dengan uang denda dan print, internet sudah cukup untuk memfasilitasi ruang baca ini.
Kalo difakultas mau diadakan ruang baca atau perpustakan Nur syam membolehkanya. Akan tetapi konsekwensinya harus tanggung pihak fakultas masing-masing. Sepertihanaya pendanan tempat perpus dan pengeloanya, karena pihak Rektorat tidak mau mengeluarkan biya yang dobel dan kita tau angaran kita tidak cukup. Dan IAIN tetap menganut system sentralisasi perpustakan. []Indah, ratna.

Mulianya Wanita Dalam Naungan Islam


Di dalam Islam, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria, yaitu sebagai hamba Allah SWT. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan lainnya hanyalah ketaqwaannya. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh wanita atau pria, akan mendapat pahala yang sama, demikian juga dengan dosa. Oleh karena itu, baik pria dan wanita bebas berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Namun adakalanya Islam membedakan peran wanita dengan pria berkaitan dengan sifat kodrati masing-masing. Maksudnya, adalah satu kenyataan bahwa ketika manusia diciptakan oleh Allah ada yang berbentuk wanita dan pria. Masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan ini tentu bukan tanpa makna. Pastilah ada tugas-tugas tertentu yang akan diberikan oleh Allah kepada makhluk yang bernama wanita dan juga pria. Salah satunya wanita sebagai ibu yang melahirkan generasi sementara pria sebagai pemimpin dan pelindung keluarga itu sendiri.
Peran sebagai ibu dijalankan sejak wanita hamil, melahirkan, menyusui, hingga masa pengasuhan dan pendidikan anak. Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana kepribadian anak yang kelak terbentuk ketika dewasa, itulah hasil karya ibu, dan berkat keuletan dan ketulusan ibu jualah bermunculan generasi-generasi berkualitas dan bermanfaat bagi bangsa dan agama. Wanita juga punya tanggung jawab untuk memanage rumah tangga agar dalam suasana menyenangkan sebagai tempat peristirahatan yang nyaman bagi semua anggota keluarga.
Ringankah tanggung jawab ini? Tidak, amanah ini memang tidak ringan, namun sangat mulia dan akan dipertanggung jawabkan di akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Seorang istri pemimpin dirumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.“ Karenanya Allah membebankan tugas kepemimpinan, pencarian nafkah dan perlindungan kepada pria. Dari sini terlihat, perbedaan peran wanita dan pria dalam keluarga tidak bisa dianggap sebagai bentuk penindasan atas kaum perempuan sebagaimana anggapan kaum feminis. Jika ada anggapan seperti itu, maka pria pun bisa protes, “kenapa saya harus memberi nafkah? Saya yang capek bekerja, membanting tulang siang-malam, berarti apa yang saya dapat adalah milik saya dan saya bebas menggunakannya sesuai keinginan saya.” Apabila ini terjadi, maka hancurlah bangunan keluarga.
Gagasan yang diusung para feminis, yakni menghendaki agar kaum wanita sama dengan pria (gender equality). Wanita harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama. Beban itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak, dan mengatur urusan rumah tangga.
Lalu berbondong-bondonglah kaum wanita meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan pria. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, eksploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi.
Mereka terjebak menjadi obyek eksploitasi sistem kapitalis yang memandang materi adalah segalanya. Para wanita ini, sadar dan tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Model, sales promotion girl, bintang iklan hingga profesi sebagai pelobi hampir selalu disodorkan pada kaum wanita. Mereka menjadi umpan dan bahkan sekedar “gula-gula” dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh wanita dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi. Aurat wanita dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan hoki. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum wanita antre minta di eksploitasi, bahkan semakin hari kian menggila. Tak hanya wanita dewasa, gadis-gadis ABG, sejak belia sudah mulai “dikader” untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi ini.

Aturan Islam Memanjakan Kaum Wanita
Islam sebagai “aturan main” kehidupan telah mengatur aktifitas wanita dan pria dalam menjalani kehidupan. Yang perlu dipahami adalah adakalanya aturan itu sama, namun adakalanya pula berbeda. Aturan yang sama diperintahkan oleh Allah dalam hal ibadah (seperti sholat, zakat, puasa, haji), berdakwah amar ma’ruf nahi munkar, shadaqah,menuntut ilmu, yang kesemuanya itu tidak ada perbedaan baik wanita maupun pria. Ada aturan Allah yang berbeda ketika secara fitrah yang memang berbeda. Sejak awal bentuk wanita dan pria saja sudah menunjukkan perbedaan itu, sehingga kemudian beban hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anak diberikan pada wanita namun tidak pada pria.
Hanya saja, persamaan dan perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender, melainkan semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat, yaitu kebahagiaan hakiki dibawah keridhaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap jerih payah istri dirumah sama nilainya dengan jerih payah suami dimedan jihad.” (HR. Bukhori dan Muslim). Pada dasarnya, Islam telah memberikan keistimewaan kepada para istri untuk tetap berada dirumahnya. Tetesan keringat mereka didapur dinilai sama dengan darah mujahid dimedan perang. Subhanallah..... begitu mulianya kedudukan wanita dalam naungan Islam
Namun ada satu hal yang perlu dicatat, bahwa tidak berarti para wanita hanya mencukupkan diri saja di rumah tanpa peduli dengan kondisi sekitar. Ketika ia mendapati kondisi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam, maka ia harus tampil untuk ikut berdakwah melakukan perubahan di masyarakat dengan tetap melaksanakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tidak kemudian keluarnya wanita adalah memburu status atau materi yang banyak seperti yang berkembang akhir-akhir ini.
Saat ini semua orang merasakan kehidupan yang sulit atau tidak sejahtera. Kesejahteraan wanita tidak harus direalisasikan oleh wanita sendiri, pria pun bisa merealisasikannya. Karena pada dasarnya merumuskan kebijakan yang benar tidak terkait dengan jenis kelamin, namun tergantung pada pola pikir apa yang dimiliki ketika hendak memutuskan sesuatu, apakah dengan ukuran kapitalis, sosialis atau islam. Mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat secara umum berarti juga mewujudkan kesejahteraan bagi wanita. Perjuangan wanita idealnya diarahkan pada perjuangan mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara umum, bukan pada wanita saja.
Wanita hendaknya ikut terjun dalam politik. Islam tidak melarang wanita berpolitik. Yang utama, wanita bersama pria bekerja sama melakukan pencerdasan politik Islam, memahamkan bagaimana Islam Kaffah, bagaimana Islam mengatur dan memuliakan wanita, sehingga muncul kesadaran masyarakat ingin melaksanakan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan kata lain, permasalahan kaum wanita (bahkan permasalahan seluruh manusia) hanya bisa dipecahkan dengan sebuah aturan kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dan bukan buatan manusia, melainkan buatan Sang Pencipta yang telah menciptakan manusia, alam, dan kehidupan ini. Aturan itu adalah Islam. Wallahu a’lam



EKASARI FAHRANI,
Aktivis GEMA PEMBEBASAN

“Ketika Mahasiswa Bekerja Sebagai Waiter Hotel”


Ditengah berbagai aktifitas kampus yang sarat akan aktifitas keagamaan dan organisasi, ada aktifitas lain yang dilakoni mahaiswa syariah. Menjadi waiter (pelayan) di hotel berbintang. Ini pasti mengherankan.....!!! kok bis...??? bagaimana tuh ...?.
Seperti apa sebenarnya pekerjaan mereka...? Pekerjaan waiter bermacam-macam bentuk. Waiter di bidang wedding biasa diistilahkan Banquet. Istilah waiter banyak dipakai oleh pekerjaan pelayan restoran. Ada istilah Bartender untuk pelayan di kafe minuman. Waiter bekerja melayani pesanan makanan para tamu. Mereka diwajibkan berpenampilan rapi dan memakai uniform. Dalam melayani tamu mereka dituntut bersikap sopan dan profesional.
Teman-teman Syarah yang bekerja sebagai waiter diantaranya berinisial UB. Dia bekerja di Imperial Ballroom Pakuwon Lontar SBY sejak Nov 08. Pilihan bekerja sebagai waiter Wedding karena butuh uang untuk tambahan biaya hidup.” Ya buat sampingan”.Mahasiswa yang kost pada umumnya dihadapkan pada kebutuhan yang tidak sedikit.
Begitu Juga dengan mahasiswa sebut saja DK. Mahasiswi Syariah smt VlI bekerja di Hotel Empire Blauran, sejak bulan Juni 2008. Mereka bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup di Surabaya. Mahasiswa sebagai orang rantau juga penuntut ilmu, sarat banyak pengeluarannya.
Namun apakah pekerjaan yang mereka lakukan tidak menganggu kuliah? Sebagai pelajar ternyata pekerjaan ini memang mengganggu aktifitas kuliah mereka. Mahasiswa berhadapan dengan berbagai kegiatan kuliah, tugas, atau organisasi. DK merasa kuliahnya terganggu oleh pekerjaan ini, “ terganggu sedikit” ungkapnya. Hal ini juga dirasakan UB, ia tidak mau bekerja ketika hari-hari aktif. “ aku takut kuliah terganggu”. Mahasiswa banyak disibukkan dengan banyak tugas dan kegiatan kampusnya. Jika bekerja maka secara otomatis mengganggu kuliahnya.
Pada saat ini dunia perhotelan sangat diminati dan trend. Tidak heran tempat pendidikan jurusan ini selalu banyak peminatnya calon-calon mahsiswa. Ketika Arrisalah mencoba menelusuri dunia perhotelan. Sungguh sangat mengesankan. Disana tempat berbaurnya kalangan borjuis. Memiliki gaya hidup glamour , mobilitas tinggi, padat aktifitas, dan privasi. Mereka menjadi orang yang selalu ingin dilayani dengan baik dan terhormat. Gaji pun yang didapat dari pekerjaan ini cukup tinggi.
Hal ini bisa mempengaruhi siapapun yang bekerja disana, untuk lebih mendalami hal-hal yang berbau perhotelan. Mengenai rencana menekuni bidang perhotelan. Apakah mahasiswa syariah ini ada komitmen juga untuk kesana ?
DK dengan sangat bersemangat menjelaskan bahwa ada program untuk menekuni dunia perhotelan ini setelah lulus nanti, “ pasti ada rencana, kebetulan di JW Mariot ada saudaraku yang menjadi salah satu managernya “, ucapnya. Hal ini sedikit berbeda dengan Ub. Ia belum berpikir sejauh itu. Tapi dia juga tertarik. Ada benak dihatinya. Apabila dunia perhotelan mempunyai porspek bagus, maka akan dilakukan, “ ya kalau bidang ini mempunyai porspek yang bagus, apapun saya lakukan. Yang penting benar-benar bisa membantu dalam hidup saya”. Ungkap maha siswa jurusan Akhwalul As-Syahsiyyah ini.

Pengalaman hidup bagi mereka adalah hal yang utama. Pembentukan karakter, kepemimpinan, etika, soft skiil, dan sopan santun di dunia pekerjaan. Merupakan awal kesiapan menghadapi masa depan mereka. Selain itu, dengan berbaur dalam pola hidup dikalangan para elit. Mereka bisa berbaur dengan siapapun. Mulai dari penampilan yang rapi dan bersih, gaya berbicara, gaya duduk, makan, dalam bekerja, dan dalam berelasi.
Berbaur atau interaksi yang didapat dari waiter adalah berhubungan dengan berbagai kalangan, suku atau etnis. Mereka bisa melihat budaya, gaya hidup mereka yang berbeda dengan kita. Diantara mereka adalah etnis Tionghoa. Hal yang unik dari orang cina adalah makanan mereka. Ada Angsio Haisom, Sangupang, Udang Naga dan banyak lagi makanan yang jarang kita jumpai. Bahkan bisa berbaur dengan orang- orang Eropa atau Amerika.
Komentar tentang mahasiswa yang bekerja dibidang perhotelan. Pak Yazid Menjelaskan bahwa dalam kaitan dengan etos kerja, pekerjaan waiter adalah boleh. Di Fak. Syariah terdapat aspek kompetensi dan non kompetensi. Aspek kompetensi outputnya ialah hakim, pengacara, dosen. Hal ini adalah kompetensi utama. Tapi ada kompetensi yang bukan utama. Lulusan dari Fak Syariah, yang tidak terserap oleh kompetensi utama, ada kompetensi penunjang. Kompetensi penunjang ini bisa menjadi alternatif.
Lanjut beliau bahwa salah satu penyebab tidak fokusnya aktifitas mereka yakni lapangan kerja yang tidak mungkin menyerap semua lulusan. Mahasiwa syariah terlalu banyak. Realitasnya peluang usaha sangat sedikit, dan banyak persaingan. Antara Kebutuhan dan jumlah kelulusan tidak seimbang. Sehingga lulusan syariah tidak harus berada dalam kompetensi utama artinya kita tidak boleh memberikan persepsi bahwa pekerjaan tersebut( baca: waiter) dianggap tidak layak. Bila kita mengandalkan idealitas, padahal ini tidak banyak menyerap kepentingan kelulusan. “Berapa sih peluang menjadi hakim? Jaksa? Skill penunjang sekarang menjadi faktor penting”.
Mahasiswa Syariah dihadapkan pada paradigma modern. Ditengah masyarakat yang syarat dengan aktifitas keduniawian. Dunia kerja di sektor formal seperti perkantoran perkantoran, pabrik,perhotelan, teknisi. lebih membutuhkan tenaga kerja dari lulusan SMA atau sarjana ilmu umum. Sektor non formal pun begitu. Ruang lingkup pekerjaan dibidang keislaman terbatas. Tidak sedikit sarjana syariah kesulitan cari kerja.
Disini ada kebimbangan dari sarjana IAIN untuk memasuki dunia kerja. Mahasiswa syariah berkemampuan lebih dalam keilmuannya, mungkin bisa memasuki dunia kerja seperti menjadi Guru Agama, Dosen Agama, Pengadilan Agama, aktifitas sosial maupun politik. Bagaimana dengan mahasiswa yang berkemampuan sedang. Secara otomatis akan sulit bersaing. Akan menjadi suatu problem tersendiri bagi mereka.
Mahasiswa IAIN berkemampuan sedang. Mungkin mereka akan memilih pekerjaan lain diluar studinya, yang sesuai dengan skiil dan kemauannya. Untuk kelangsungan kehidupan seperti di sektor wirausahawan, pegawai pabrik atau perkantoran.
Dalam mengatasi persoalan tersebut adalah tidak mudah. Banyak hal yang perlu dibenahi baik sistem pendidikan, lembaga pendidikan pelaku pendidikan maupun lapangan dunia kerja. Masalah yang sangat komplek ini harus diatasi. Sehingga sarjana agama islam kususnya IAIN tidak risau.

Oleh : Very

GAY SYRABAYA


Saat malam menyibakkan selendang gelapnya, kehidupan mulai sedikit berubah. Keterusterangan yang terwakili matahari menjelma menjadi keadaan gelap, samar dan penuh kerahasiaan yang tertutup rapi. Malam telah menunjukan identitas alaminya, menutupi dan melindungi wujud asli dari terang. Begitupun tentang suatu identitas yang tersembunyi dari manusia, sebuah karakter yang mungkin akan sulit kita temui di kala "terang", maka temuilah mereka di saat "gelap", di saat karakter menemukan rasa aman dan komunitasnya.
Tim GoKal (Goresan Kalbu) kali ini mencoba menyisir prilaku Gay yang ada di sekitar Surabaya dengan dilematikanya saat berhadapan dengan penegak hukum dan masyarakat.
Malam mulai menggelayut rindai seiring kedatangan kami di Taman Bungkul. Kerlip lampu yang remang menambah suasana Taman yang memancing untuk berasyik-masyuk di area pertamanan itu. Bungkul sejatinya merupakan taman tempat peristirahatan atau makam seorang tokoh masyarakat. Nilai religiositas sebenarnya tengah dibangun di makam yang tertutup dinding rapi putih berhiaskan taman-taman kecil menawan.
Namun sakralitas Taman Bungkul menjadi redup tatkala melihat areal Taman yang luas menjadi ajang untuk bercengkerama dengan kekasih. Beberapa diantaranya memberikan kesan yang berbeda. Bukan karena mereka terlihat hanyut dalam buaian keindahan Taman disertai canda tawa kecil, namun mereka justru "terlihat" sebagai pasangan yang memang berkelamin sama, laki-laki dan tak ada gundah resah bermesraan layaknya sepasang kekasih "biasa".
Beberapa kalangan mengatakan mereka adalah kaum homoseksual. Menurut kamus Psikologi (Dali Gulo : 105) Homoseksualitas diartikan sebagai kecenderungan memiliki hasrat seksual dengan jenis kelamin yang sama. Sebuah karakter lain dari diri manusia yang menembus benteng moral manusia untuk mengakui bahwa memang ada karakter berbeda selain laki-laki dan perempuan.
Hawa dingin mulai berhembus merayapi setiap orang yang tengah berada di wilayah Taman Bungkul, mencicbir kita untuk menciptakan kehangatan-kehangatan baru. Semilir sepoi yang menggerakkan ranting-ranting pohon pun meliuk bersama percikan air mancur kecil yang mengitari Taman. Indah dan senyap yang khas meski berada di samping jalan raya. Kesunyian suasana menjadi sedemiaan menarik ketika kami berkenalan dengan seorang yang mengaku bernama Rizki.
Perbincangan pun menjadi mengalir bak anak sungai yang mencari celah arah, meliuk lunglai dengan arah yang tak terduga kemudian bermuara pada kesimpulan bahwa Rizki adalah seorang Gay, atau dia menyebut dirinya sendiri, sebagai aktivis Gay.
"Kebanyakan kaum Gay secara psikologi tertutup atau menutup diri dari lingkungan di sekeliling mereka, kecuali kepada sesama kaum mereka sendiri", tutur Rizky memulai mendeskripsikan Gay. Sebagai prilaku yang kurang mendapatkan tempat dalam masyarakat, karakter Gay lebih mudah diketahui lewat komunitas yang membuat mereka merasa aman.
Namun, melihat beberapa pasangan yang tengah memadu cinta kasih di bawah sorot rembulan malam ini, agaknya sifat kecenderungan menutupi identitas seperti yang diutarakan Rizki kian rapuh dan menjadi semakin kabur. Bahwa watak asli yang dulu tersekat oleh rasa khawatir kini mulai tembus dengan sikap mau "membuka" diri dengan dunia di luar komunitasnya, setidaknya hal ltu tercermin dari obrolan ringan dengan Rizki dan potret-potret kejadian yang tengah berlangsung di sekitar kami.
"Saya sangat benci," ungkap Rizki dengan tinggi, " kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Ungkapan jengkel ini terlontar saat kami menyodorkan penyataan," apakah Anda ingin sembuh?". Sebuah pertanyaan menjustifikasi bahwa dia memang dalam keadaan "sakit".
Sex Hanyalah Cairan.
Rizki, seorang yang kita temui di Taman Bungkul, adalah putra pertama dari 5 bersaudara. Keempat saudaranya adalah perempuan. Dia bekerja di salah satu toko alat-alat listrik di daerah Juanda (Bandara Udara Surabaya). Sejak mengikuti komunitas kaum Gay 10 tahun yang lalu, pihak keluarga tidak ada yang tahu. "Aku terkadang merasa takut, kalau sampai orang di sekelilingku tahu dengan keadaanku yang sebenarnya", ungkap dia dengan suara lirih.
Matanya kemudian menerawang, mencari celah-celah dukungan dan memantik empati pada orang yang diajak berbicara. Sesekali, hembusan nafasnya yang berat terlihat galau penuh tekanan yang mendera. Ketakutan yang terasa bertambah saat dia berada di dalam rumah atau saat dia disuruh pulang oleh orang tuanya. "Rasa takut tersebut, seperti rasa takut anak kecil yang sebelumnya berbuat salah", tambahnya kepada kami.
Ditanya mengenai pasangannya, dia mengutarakan kalau dirinya sama dengan kebanyakan kaum Gay lainya, tidak suka berganti-ganti pasangan. "Saya tidak mau mati sia-sia akibat penyakit sex (virus HIV AIDS)", tutur orang yang berusia kisaran 35 tahunan tersebut. "Tempat berkencan kami”,imbuhnya, “selalu tetap. Untungnya pasangan saya berada dalam satu naungan dengan saya".
Begitulah sosok di depan kami menguraikan bagan demi bagan tentang identitasnya. Serasa menemukan sebuah kepercayaan akan kami, ia lantas memberikan pernyataan mengenai esensi hubungan badan yang ia rasakan. “ Sex itu hanya cairan kok”.
Jangan bilang aku sakit
Pada kesempatan lain, kami terpental di tempat berbeda. Menyusuri lekuk panorama kehidupan Gay. Saat itu keadaan malam kian berdecak indah. Di sebuah jembatan yang bertabur lampu di sepanjang sisi kiri-kanannya, kami menyisir menyusuri jalan. Bayang-bayang sorot gemerlap hotel Sahid menemani derap langkah hingga tibalah kami di beberapa kerumunan orang. Riuh rendah canda tawa sesekali memecah keheningan malam yang mulai menawarkan kesunyian. Itulah kesan pertama yang tertangkap saat kami tiba di komunitas Gay di sepanjang bantaran sungai Kali Mas. Beberapa orang menyebut tempat ini dengan nama Pataya.
Tidak banyak yang kami dapatkan di sana, hanya saja pertemuan kami dengan Upiq, nama samaran yang katakan, karakter homoseksual sebenarnya memiliki 3 tahapan. Dari tahap aman, rawan hingga kritis. Saat timbul rasa suka, terkadang rasa kagum turut menyertai, dengan seorang lelaki, di situ tahapan pertama dari watak Gay muncul. Sedangkan tahapan rawan terjadi tatkala rasa suka tersebut hingga menyamai rasa cinta yang timbul antar jenis, antara lelaki dan perempuan. “ Saat kita merasa apatis terhadap wanita, maka itulah tahap kritis homoseksual”, papar Upiq dengan penuh keramahtamaan.
Gemericik air Kali Mas membuat malam Pataya terasa indah. Bulir-bulir buih yang dihasilkan bendungannya menambah warna kilau pantulan di kegelapan. Homoseksual bukanlah hal baru, tapi menjamurnya komunitas-komunitas Gay dengan sikap berani membuka diri, agaknya menjadi fenomena kekinian. Tak jarang, keterbukaan diri mengakui bahwa dirinya berbeda dalam orientasi seksual seperti ini malah mendapat respons negatif dari masyarakat.
Guru Besar Filsafat Sosial UNESA Warsono menyatakan bahwa cacian tersebut tidak lepas dari posisi masyarakat dalam membangun perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Artinya, terdapat pola pikir masyarakat yang telah terbentuk mengenai jenis kelamin serta sifat dan karakter orientasi seksual yang ditimbulkan. Sehingga ketidak-biasaan karakter homoseksual sering menarik cercaan dan hinaan dari masyarakat.
Sering pula masyarakat menganggap bahwa abnormal homoseksualitas itu bagian dari penyakit sehingga si “sakit” dirujuk untuk segera menyembuhkannya. Menaggapi hal itu, seloroh Rizki terkadang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang Gay, “"Saya sangat benci kalau ada seseorang yang bilang kami perlu mendapat bimbingan oleh psikiater". Begitulah sikap Rizki sebagai sosok Gay menimpali tudingan sebagian masyarakat. Cacian pun , meski juga sering dibalut rasa kasihan, tetap mengalir.
Kendati demikian, semangat untuk memperjuangkan komunitas Gay tidak surut asa. Seorang aktivis Gay sekaligus pendiri GAYa Nusantara Dede Oetomo, misalnya, begitu gigih menuntut persamaan derajat dan punya hak hidup. Menurutnya, manusia merupakan mahluk ciptaan tuhan. Begitu juga gay. Maka seperti laki-laki dan perempuan, gay harus mendapatkan equlity dalam bermasyarakat.
Warsono menambahi, " Bila ada revolusi paradigma dalam kontrsuksi sosial, akan ada kebebasan berekspresi atau berperilaku yang sesuai keinginan kaum Gay”. Memang, bagi gay membangun pola pikir masyarakat agar menerimanya tidaklah mudah. Mereka harus mampu melebur dan berbaur dengan massa. Membangun usaha positif dan konkrit, berperan aktif pada berbagai kegiatan kemanusiaan atau sosial, program peduli pendidikan, pemberdayaan kaum minoritas atau terlantar, dan kegiatan-kegiatan lain yang bernuansa kepedulian bersama sembari memperkenalkan dirinya dan paradigmanya kepada masyarakat umum.
Sisi kehidupan gay dimata hukum.
Gay Tidak Tersentuh Oleh Peraturan Pemerintah ?
Malam menunjukkan geliatnya dengan tebaran sorot lampu remang yang menghiasi arah. Kerling bintang boleh tak terlihat, namun suasana semarak yang tampak menghiasi temaram kota Pahlawan menjadi bagian sisi kehidupan yang sedang menyala. Komunitas tertentu mengumpul, membentuk sebuah identitas yang memiliki kesamaan ciri khas dan rasa. Ikatan inilah yang kemudian melahirkan tempat-tempat tertentu. Komunitas PSK, diantaranya, ditemui di wilayah Dolly, begitupun komunitas Bencong yang sering mangkal di area Bambu Runcing. Gay pun membentuk komintas-komunitasnya sendiri, misalnya di area Monkasel (Monumen Kapal Selam) Surabaya dan Pataya.
Di Pataya, misalnya, komunitas yang kami temui ini tak ubahnya layaknya komunitas para “pria” yang tengah bercengkerama satu sama lain. Penampilan kaum gay terkesan rapi, berbaju ketat beraorama wangi membuat kami tidak yakin akan mengenali mereka jikalau berpapasan di siang hari. Mereka tampak asik bercengkrama dengan pasangannya masing-masing. Menikmati indahnya alam yang gelap.
Keberadaan gay di tempat – tempat ramai seperti itu cukup aman dari kejaran para satpol PP kota Surabaya. Walaupun, sebagian dari mereka sering melakukan aktivitas "mesum" di tempat remang-remang taman kota, gang-gang kecil. Mereka begitu pintar menyembunyikan identitas pribadinya. Hal ini yang diungkap Pak Heri, Kepala satpol PP Surabaya Selatan.
" Aturan hukum tentang gay ada . Namun, selama ini belum pernah menangkap gay. Karena sulit". Peraziaan para pelanggar kesusilaan yang dijalankan oleh Satpol PP, termasuk untuk gay, didasarkan pada Perda kota Surabaya No 7/99 tentang ketertiban umum.
PSK dan Waria tidaklah seberuntung kaum gay. Mereka selalu kawatir, dan berhati-hati agar tidak terjaring. Ketika pukul 22.00-02.00 Wib sering ada razia . Bagi yang terjaring akan dikumpulkan di Kantor Sat Pol PP Kota Surabaya, untuk didata dan diambil sampel darah. Selanjutnya disidang di Pengadilan Negeri Surabaya. Hasil keputusannya, mereka dikenakan denda Rp.50.000,00. Bila tidak mampu membayar denda (subsider), akan dikurung selama tiga hari. Khusus bagi para “pemain lama” yang tertangkap lagi akan dimasukan ke Medaeng selama 1 tahun. Namun sebagian besar mereka sudah terbiasa dengan hukuman tersebut, dan akan kembali melanjutkan "pekerjaanya" yang sempat tertunda beberapa waktu.
Para gay cukup senang keberadaanya tidak diampiri oleh aparat. Walaupun oleh masyarakat mereka sering dihina. Karena keadaan dan prilakunya yang tidak wajar. Penampilan layaknya pria tulen sering mengelabui para aparat dan membingungkan Satpol PP untuk menciduknya. Termasuk kelihaian alibi mereka tatkala terendus kepribadiannya, bahkan mereka juga punya memiliki mata-mata. sehingga tidak heran Satpol PP dibuat pusing atas kelicikannya. "Mengenai gay memang agak sulit dalam membuktikan" keluh Pak Heriyanto.
Sebenarnya dalam melakukan razia tindakan asusila, Satpol PP sering dibantu oleh pihak-pihak lain. Seperti dari Polwiltabes, Denpom, Garnisun, Bakesbang Linmas, dan Dinas Kesehatan. Alasan kesulitan merazia gaya tentu benar, apalagi dikhawatirkan terjadinya kasus salah tangjap jikalau yang terazia ternyata bukan komunitas gay.
Kesamaran identitas gay menjadi alasan sukar yang dikedepankan. Akan tetapi, dengan memanfaatkan para intelijen dari kepolisian dan seorang psikiater dari Dinkes mungkin termasuk solusi tepat. Sehingga dengan penelusuran yang profesional oleh pihak intelijen mampu menyisir secara pasti tempat komunitas itu berada. Lalu pihak psikiater akan melanjutkan diagnosanya untuk menentukan apakah dia gay atau tidak.
Terlebih, otoritas keamanan masyarakat memiliki kebebasan penuh dalam mengamankan perbuatan asusila yang dilakukan gay yang kini sudah tidak sungkan-sungkan lagi memamerkan kemesraan antar sejenis di wilayah publik sekalipun.
Dus, beberapa kriteria ciri khusus juga bisa dijadikan acuan dasar dalam menindaklanjuti gay. Seperti gaya metroseksual dengan padanan tindik di telinga kiri, atau memakai slayer di tangan kiri. Bahkan menjepit koran di ketiak kiri, menurut sumber yang tidak mau disebutkan namanya, bisa menjadi tanda bahwa orang gay untuk saling mengenali komunitasnya. Satpol PP dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menciptakan keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat pun dapat leluasa untuk merazia tindakan yang dianggap melanggar norma kesusilaan yang berkembang di masyarakat. Baik tindakan asusila yang dilakukan oleh orang “biasa” maupun yang ditimbulkan oleh Pekerja Seks komersial (PSK), waria atau bencong, dan gay sekalipun.
Seorang mantan gay yang telah merasakan kehidupan gay hampir selama tiga tahun sebelum dia “ bertobat”, Upiq, menanggapi lain perihal razia para gay. “yah jangan diraziai lah tempat gay itu. Mereka biasanya menemukan rasa aman di sana”. Upiq beralasan, di Indonesia memang masih menganggap gay sebagai penyakit, atau minimal, penyakit sosial. Sehingga mereka merasakan tekanan yang begitu hebat dari orang-orang yang ada di sekililingnya. Komunitas-komunitas yang terkonsentrasikan di tempat tertentu itulah tempat mereka menemukan teman dan ketenangan. “Akan tetapi”, lanjut Upiq merujuk pada para kaum gay, "Jangan bermesum di tempat umum”.
Dan itulah sebuah potret realita kondisi masyarakat yang mewarnai kehidupan yang sudah dilakukan sejak masa nabi lut. Rizki dan Upiq merupakan salahsatu kaum yang marjinal yang tidak bisa kita pungkiri berada di sekililing kita

PEMIMPIN DAN JALAN PERUBAHAN


Indonesia butuh perubahan! Inilah kiranya ungkapan hati nurani yang mewakili harapan masyarakat negeri. Masyarakat telah bosan dengan keadaan kehidupan negeri ini yang tak kunjung baik dan tidak mampu membawa mereka kepada kesejahteraan hidup. Beberapa kali pergantian pemimpin tidak membawa perubahan secara signifikan negeri ini kepada kondisi yang lebih baik. Pada bebarapa hal banyak dilakukan pembangunan fisik, terutama bangunan-bangunan komersial. Namun pada banyak hal pembangunan kondisi sosial-masyarakat diabaikan. Padahal masyarakat berharap banyak kepada sosok pemimpin yang memiliki jiwa pengabdian, rela berkorban, dan kepekaan sosial.
Tapi nampaknya, menghadirkan seorang pemimpin yang benar-benar memperhartikan urusan rakyatnya menjadi sebuah keniscayaan. Maka tak heran jika banyak yang berharap pada pemilu dengan cara menggunakan hak suara meraka. Hingga ada yang mengatakan bahwa memilih untuk tidak memilih adalah pilihan yang tidak cerdas dan menunjukkan sikap apatis. Benarkah demikian? Apakah pemilu merupakan satu-satunya jalan untuk menghadirkan seorang pemimpin yang adil, yang memperhatikan rakyatnya? Atau, adakah jalan yang lainnya?

Kewajiban mengangkat seorang Pemimpin
Mengangkat pemimpin dalam Islam hukumnya wajib. Hal ini telah dinyatakan dalam nash-nash Syar’i. Rasulullah SAW bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Ijma’ Sahabat juga menunjukkan kewajiban mengangkat seorang pemimpin. Hal tersebut dapat dicermati dari riwayat yang menceritakan bahwa para Sahabat tidak bersegera memakamkan jenazah Rasulullah SAW hingga mereka berhasil mengangkat Abu Bakar ra. sebagai pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintahan. Padahal, hukum memakamkan jenazah adalah Fardhu Kifayah, yang pelaksanaannya tidak boleh ditunda. Akan tetapi Sahabat tidak melakukannya. Ini berarti ada perkara lain yang wajib dilaksanakan dan didahulukan yaitu mengangkat pemimpin bagi kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Dan Ijma’ Sahabat tersebut merupakan dalil Syar’I yang wajib diambil oleh kaum muslimin.
Pemimpin yang dikehendaki oleh Islam adalah pemimpin yang mampu menerapkan Syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Maka dalam konteks ini jelas bukan hanya persoalan person/individu saja yang diperhatikan, tetapi juga sistem yang diterapkan. Mengangkat seorang pemimpin berarti menyerahkan urusan rakyat untuk diatur oleh pemimpin yang diangkat dan diberi mandat oleh rakyat. Dan adanya ketaatan merupakan konsekuensi dari mengangkat seorang pemimpin. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin (uli al-amr) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]:59).
Ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang dibenarkan oleh Syari’at dan bukan ketaatan untuk melaksanakan kemaksiatan. Sebagaimana hadits riwayat Imam Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada al-Khaliq (Allah).”
Jadi, ketaatan bukanlah bagi mereka yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah, karena kita dilarang mentaati orang yang bermaksiat kepada Allah sebagaimana dalam hadits di atas.
Namun, perintah untuk mentaati uli al-amri saat ini tidak bisa diwujudkan karena objek yang wajib ditaati (uli al-amri) tidak ada. Maka, perintah untuk mentaatinya adalah sekaligus menjadi perintah untuk mewujudkannya. Sehingga ketaatan terhadap uli al-amri bisa terwujud. Karena itu, mentaati uli al-amri merupakan Dalalah iltizam (indikator yang membawa konsekuensi) wajibnya mengangkat dan mewujudkan uli al-amri.

Perjuangan politik sebagai jalan perubahan.
Banyak kalangan yang berharap pemilu akan menjadikan negeri ini lebih baik. Berharap lahirnya pemimpin yang memperhatikan urusan rakyatnya akan lahir melalui pesta demokrasi tersebut. Bahkan sebagian beranggapan, bahwa pemilu adalah satu-satunya cara untuk merubah kondisi negeri ini. Sebagian kaum muslim pun berpendapat, tanpa keikutsertaan mereka yang membawa misi keislaman (baik sebagai pemilih maupun yang dipilih) berarti sama saja dengan menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang-orang kafir atau mereka yang menjadi antek para musuh Islam. Walhasil, muncullah pemikiran bahwa pemilu menjadi wajib, dan golput (dengan alasan apapun) DIHARAMKAN.
Negeri ini telah melaksanakan pemilu berkali-kali. Sejak masa orde lama, orde baru, hingga orde reformasi pemilu tidak membawa perubahan apa-apa. Bahkan kondisinya cenderung semakin parah. Fakta sejarah menunjukkan bahwa perubahan yang mendasar justru bukan lahir dari pemilu atau melalui parlemen (konstitusional). Pergantian orde lama ke orde baru, orde baru ke masa reformasi justru terjadi secara inkonstitusional. Begitu juga yang terjadi di belahan dunia lainnya; revolusi industri di Eropa, revolusi Iran, kudeta Thailand, semuanya terjadi diluar parlemen. Begitulah kenyataannya bahwa perubahan besar, menyeluruh dan mendasar selalu terjadi di luar system.
Namun, tulisan ini bukanlah bermaksud memprovokasi masyarakat untuk memboikot pemilu kemudian melakukan kudeta atau revolusi berdarah. Akan tetapi hendak meluruskan pemahaman dan berfikir ideologis. Bagi mereka yang memilih untuk golput karena sikap apatis kemudian pasrah dan berserah diri kepada kondisi yang ada, tentu tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, setiap sikap dan pilihan yang diambil tentu dengan pertimbangan ideologis yang benar. Yaitu dengan jalan perjuangan pemikiran Islam, berinteraksi dengan mereka dengan melakukan pergolakan pemikiran, mengajak kalangan yang menjadi pilar-pilar Negara yang memiliki kekuatan (ahlu an-Nushroh) untuk menerima dakwan Islam, serta menerapkan Syariat Islam di tengah-tengah kehidupan.
Perjuangan politik tidak bisa dilakukan tanpa adanya partai politik. Ini merupakan sebuah keharusan bahkan sebuah kewajiban. Kewajiban untuk mewujudkan pemimpin tidak akan bisa terwujud tanpa adanya partai politik yang memperjuangkan hal tersebut. Karena itu, keberadaan partai politik menjadi wajib. Inilah konklusi yang bisa ditarik dari Dalalah Iltizam (sebagaimana penjelasan sebelumnya) dalam ilmu ushul fiqh. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah partai politik Islam yang menjadikan fikrah (pemikiran) dan thariqah (metode) Islam sebagai landasan geraknya. Sehingga perubahan yang dicita-citakan adalah terwujudnya kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Di sanalah terlihat fungsi edukasi dari sebuah partai politik. Membangun kesadaran umat dengan pemahaman Islam. Bukan hanya sekedar melakukan aktivitas untuk kepentingan pemilu. Dengan melakukan perjuangan politik berdasarkan thariqah perjuangan Rasulullah SAW berarti sebuah partai politik telah melakukan sebab-sebab yang akan mengantarkan pada keberhasilan dan kemenangan Islam. Keyakinan akan janji Allah akan menjadi kekuatan tersendiri bagi para aktivisnya. Dan tentu tanpa melupakan kaidah kausalitas (sebab-akibat) yang harus dijalani. []Oleh: Azzam Semesta
(GEMA Pembebasan Komisariat IAIN Sunan Ampel Surabaya)

MAHASISWA DAN ANARKISME

Syariah, Juni 2009
Pagi itu suasana seakan nampak biasa-biasa saja. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang warga Fakultas Syariah, dosen, mahasiswa, pegawai akademik beraktifiatas sebagaimana hari-hari sebelumnya. Aku pun demikian. Hari ini, hanya ada satu mata kuliah hukum perkawinan Islam di Indonesia, yang memang salah satu mata kuliah yang cukup nyantai bagiku. Kukeluarkan HP dari saku celana, waktu menunjukan jam 09.05, lima menit lagi masuk kuliah.
Selang beberapa saat ada yang ramai di perkiran depan kantor BEM, ada apakah gerangan??? Aku berjalan tenang diatas lantai dua gedung, terlihat semua aktivitas-aktivitas yang kurang biasa terjadi di depan parkiran ini. Ah.. ada-ada saja perilaku kaum intelektual ini, gumamku. Aku tetap memperhatikan.
Semakin lama masa makin banyak, semakin banyak, semakin banyak dan... aksi pun dimulai. Perilaku khas mahasiswa, pelajaran pertama masuk kampus, penekanan utama dalam oscar (semacam ospek atau orientasi mahasiswa baru), suatu yang menjadikan mahasiswa begitu disegani, sekaligus ditakuti oleh pemerintahan manapun. DEMONSTRASI..
Semula aksi berjalan terkendali, masih sebatas kewajaran (mungkin juga tidak). Mahasiswa bergantian melakukan orasi lantas kemudian disertai hujatan-hujatan bak lomba orasi yang diselenggarakan panitia oscar untuk para mahasiswa baru, sesekali diikuti teriakan histeris puluhan mahasiswa yang lain. Demikian terus berlangsung. Puas mereka ber-orasi dan menghujat, para mahasiswa yang semakin bertambah ini berjalan mengelilingi kampus sembari meneriaki mahasiswa lain agar mau bergabung dengan mereka.
Setelah cukup lama melakukan aksi, akhirnya pihak pimpinan, dekan dan para pembantunya bersedia menemui para pengunjuk rasa. Mereka melakukan pertemuan dan dialog di ruang Auditorium Syariah, dari pihak mahasiswa diwakili oleh BEM dan jajaranya, HMJ setiap jurusan, perwakilan UKM dan LPM, akupun turut masuk didalamnya, kulihat Pak Sam'un turut hadir dalam sesi dialog ini, berarti mata kuliah hukum perkawinan islam di indonesia kosong. Sedang pihak dekanat diwakili oleh Dekan Faishol Haq dan pembantu-pembantunya, Jeje Abdul Rozak, Masruhan, dan juga para Kasubag akademik, umum dan keuangan. Tuntuan mahasiswa berupa renovasi gedung BEM dan UKM, Pelayanan akademik serta pengadaan SP (semester Pendek) semua terjawab dalam forum tersebut.
Lantas apakah para demonstran di luar sudah tenang???? Ternyata tidak. Mereka bahkan semakin bringas dan anarkis. Para demonstran melakukan swiping di tiap kelas. Semua mahasiswa yang masih melakukan perkulaiahan dengan dosen dipaksa keluar dan ruangannya ditutup. Bahkan kaca akademik takluput dari amukan masa. Anarkis menjalar masuk ke dalam ruang sidang, salah satu dosen tidak trima dan keributan di ruang auditorium pun tak dapat terelakan bahkan nyaris terjadi baku hantam mahasiswa dan dosen tersebut. Namun semua bisa teratasi. Namun bagaimanapun juga, hal ini semua telah mencoreng wajah pendidikan di Indonesia. Wajah intelektual para penuntut Ilmu

Mahasiswa & Idealismenya
Diskurkus tentang mahasiswa dan idealismenya, bahkan sebelum bangsa Indonesia mengenal kemerdekaan, mahasiswa dengan intelektualnya telah berjuang, perjuangan dengan organisasi modern-moderennya. Sudah lama juga, topik tentang mahasiswa menjadi pokok bahasan dalam berbagai forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, saat rezim orde baru berkusa, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat sangat nyata terlihat. Dari berbagai advokasi yang dilakukan, dan pendampingan atas rakyat yang menjadi korban dari ketidak adilan itu, menjadikan mahasiswa sangat disegani dan sekaligus menjadi tameng sekaligus senjata bagi rakyat. Serta pula control terhadap rezim penguasa dan antek-anteknya menjadikan mahasiswa semacam musuh bersama penguasa yang harus di singkirkan (diadopsi dari Film GERMA pada tahun 1998)
Dan puncaknya pada tahun 1998, gerakan nyata denagan urun ke jalan secara besar-besaran telah mampu merobohkan rezim yang seama 32 tahun berkuasa di negri tercinta ini. Kekuatan mahasiswa telah terbukti mampu membawa perubahan yang dielu-elukan itu, REFORMASI.
Sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987,
Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani.

Sekarang kok jadi kayak gini
Apapun yang terjadi, terlepas dari tiap manfaat serta hikmah yang dihasilkan dari idealisme mahasiswa yang menghasilkan perubahan sosial, dan sangat dibanggakan oleh rakyatnya. Namun akhir-akhir ini, kita mahasiswa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya dikejutkan dengan sikap dan gerakan mahasiswa yang kehilangan ruh bahkan jiwa serta fitrah dari subtansi gerakan itu sendiri, entah hilang kemana idealisme itu, tinggal anarkisnya.
Betapa tidak? Apa ang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa status mahasiswa yang notabenenya merupakan corong perubahan, kini menjadi garda anarkisme. Mulai dari kasus mahasiswa demonstrasi yang katanya membela teman-teman kuliahnya yang kebetulan terkena keputusan pihak birokrasi kampus dengan status drop out, menuntut fasilitas-fasilitas, sampai dengan tawuran antar mahasiswa yang berbeda fakultas (Alhamdulillah yang satu ini tidak terjadi di kampus kita, walaupun terkadang masih ada sedikit-sedikit). Dan semuanya menyisahkan anarkisme dan perusakan-perusakan fasilitas kampus dan umum.
Dan masih ingat dalam benak kita, kasus ributnya pemilihan presiden mahasiswa (ketua BEM_Badan Eksekutif Mahasiswa Institut) tahun lalu, dan yang juga tak terlupakan, keributan antar mahasiswa satu bendera yang berbeda wilayah saat deklarasi salah satu organisasi masa terbesar di IAIN Sunan Ampel ini. makin menambah daftar kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa. Anehnya, perilaku yang demikian kian hari kian menambah jumlah daftarnya.
Setidaknya kita (baca; mahasiswa) merasa malu terhadap gelar yang sudang terlanjur kita sandang, intelektual, ilmiah, agen perubahan dan control sosial. Sedangkan, sikap dan sifat kita tidak lebih seperti preman dan bahkan seperti orang yang tak mengenal pendidikan. Bukankah kita sudah ’Maha’, kenapa lantas kita tak ada ubahnya seperti anak kecil yang sering menyelesaikan permasalahan kita sengan kekerasan dan perusakan fasilitas.
Demonstrasi merupakan salah satu dari sekian pilihan media penyampaian aspirasi, dan bukan satu-satunya. Dan aksi mahasiswa hendaknya dikonstruk dengan berbagai bentuk yang benar-benar normatif, setidaknya gerakan mahasiswa musti dibarengi dengan sikap yang benar-benar dewasa. Bukankah kita mengutuk yang namanya ”kekerasan”, tapi kalau kita yang bertindak demikian, apa kata dunia?????
Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dulu dengan sekarang ini tentu sudah jauh berbeda. Jika dulu pada masa Soeharto mahasiswa dilarang melakukan gerakan. Sehingga menggunakan kekuatan kampus yang puncaknya tahun 97 dan 98, dengan posisi mahasiswa berada di garda terdepan untuk menurunkan rezim Soeharto dengan mendapat dukungan jutaan orang di belakangnya.
Namun sekarang ini sudah demokrasi, siapa saja bisa diunjukrasa, semua bisa menyampaikan pendapatnya dan berhak pula didengar pendapatnya.
Wallahu A'lam Bishowab

Neoliberalisasi pendidikan Indonesia

Organisasi perdagangan dunia atau yang lebih dikenal sebagai WTO (World Trade Organization) IMF, WB, adalah lembaga multilateral yang mendorong negara-negara yang berkembang untuk mendorong kepentingan kapitalisme. Sedangkan neoliberalisme adalah sebuah paham ekonomi liberal, mereka menginginkan agar pemerintah mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam penataan kegiatan ekonomi. Mereka beranggapan bahwasannya "ekonomi masyarakat akan lebih baik jika pemerintah tidak ikut campur tangan, sedangkan tanggung jawab itu diberikan kepada mekanisme pasar".

Dalam jeratan Neoliberalime ekonomi atas negara-negara berkembang diatur dengan kesepakatan internasional, maka lahirlah kesepakatan Washington (Washington consensus) pada tahun 1989-1990 yang diperkenalkan oleh John Williamson, seorang ahli ekonomi dari institut untuk ekonomi internasional. Para pejabat ekonomi Amerika serikat, IMF dan Bank Dunia men formulasikan supaya Washington consensus bisa diterima di negara yang sedang mengalami krisis ekonomi.

Lahirnya Washington consensus di latar belakangi dari pengalaman-pengalaman negara Amerika Latin pada tahun1980-an, pada saat itu mekanisme pasar di kawasan tersebut tidak berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menentu. Seperti hanya pendapatan domestik bruto yang mengalami kemerosotan selama tiga tahun.

Dalam Washington consensus terdapat 10 kesepakatan yang di rekomendasi yakni: 1. Mendisiplinkan fiskal, 2. Mengarahkan kembali pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur 3. Reformasi perpajakan 4. Liberalisasi suku bunga 5. Tarif kurs yang kompetitif 6. Pasar Bebas 7. Liberalisasi pemerintah langsung dari luar negeri 8. Privatisasi 9. Deregulasi 10. Penjaminan hak milik

Indonesia dalam kepemimpinan presiden suharto, mengikuti saran IMF pada saat Indonesia mengalami krisis global pada tahun 1998, untuk dapat mencairkan dana dari pinjaman IMF. Maka dibuatlah letter of intent (LOI). Dengan begitu IMF memaksa Indonesia untuk melaksanakan ketentuan IMF seperti menerapkan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi agar Indonesia akan lepas dari krisis ekonomi.

Organisasi perdagangan dunia bersama IMF menjadikan pendidikan sebagai salah satu komoditas yang bisa diperjual belikan. Mereka berpendapat bahwa pendidikan termasuk ke dalam katagori industri yang mengubah benda fisik physical services, keadaan manusia, benda simbolik, dalam hal ini pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mentransformasikan orang yang tidak berpengetahuan serta tidak mempunyai keterampilan menjadi berpengetahuan dan mempunyai keterampilan.

Organisasi perdagangan dunia membagi liberalisasi menjadi dua yang pertama, kesepakatan tarif dan perdagangan atau GATT, yang kedua kesepakatan umum pada sektor jasa GATS. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan Organisasi perdagangan dunia/ WTO dan GATS. Untuk itu Indonesia harus tunduk dengan kesepakatan yang dibuat oleh WTO dan GRTS. Melalui GATS ini semua transaksi perdagangan, dimana pendidikan ditetapkan masuk didalamnya.

Sejarah

Pada tahun 2003 pemerintahan Megawati, bersama dengan Departemen pendidikan nasional melahirkan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yang di dalam pasal 53 ayat 1 dan 4 mengamanatkan 1. penyelenggaraan suatu pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan" ayat 4. "ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri".

Aturan pendukung UU BHP Diantaranya RPP PPP, Perpres No 76 tahun 2007 tentang kriteria dan Persyaratan penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan penanaman modal dan perpres no 77 tahun 2007 Tentang Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan penanaman modal.

Di masa kepemimpinan presiden Susilo bambang yudoyono dan Jusupkla, membuat sebuah peraturan pemerintah No.48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan (PP PP). Selama diperkenalkan kepada publik tentang naskah RUU BHP sejak tahun 2003 sampai tahun 2008 mengalami koreksi pergantian sampai 38 perubahan dan disahkan menjadi UU BHP adalah naskah yang ke 40. pada tanggal 17 Desember 2008.

Catatan penting lolos nya RUU BHP menjadi UU BHP adalah desakan DPR berserat Bank Dunia, karena pada tahun 2005 pemerintah mengajukan dana utang senilai 50 Juta Dolar Kepada AS untuk Proyek Pengembangan Relevansi dan Efisiensi Pendidikan Tinggi. Dan salah satu Indikator utama proyek tersebut ialah lolos nya UU BHP paling lambat tahun 2010.

Dalam proyek tersebut bank dunia menekan bahwasannya perguruan tinggi yang secara otonom antara lain harus mampu mengelola keuangan secara independen, mengelola sumberdaya manusia secara mandiri, dan mampu menggalang dana yang cukup.

Titik permasalahan pendidikan

Dengan disahkannya beberapa undang-undang seperti yang tertera di atas, maka itu semua sumber permasalah yang buat oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga multilateral berserat lembaga keuangan dalam hal ini IMF, Bank Dunia, ADB, W TO, yang menginginkan masuknya kepentingan meoliberalisasi, dan korporasi dengan faham kapitalisme mereka jalankan program-program yang dikemas secara menarik dan di tawarkan kepada negara yang berkembang.

Dengan demikian Indonesia adalah salah satu korban/pendukung dari kepentingan mereka. Untuk itu Indonesia harus menuruti apa yang diinginkan dan menerapkan kesepakatan walaupun itu sangat merugikan bangsa.

Bukti konkrit adalah dengan disahkannya UU BHP yang sarat kepentingan Kapitalis, tidak hanya itu pemerintah sebelumnya juga mengesahkan peraturan prepress No. 76 tahun 2007 dan perpres no 77 tahun 2007 yang menyatakan bahwa sektor pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, dengan batas maksimal 40%. Dengan adanya prepress ini merupakan jalan lapang bagi kapital untuk masuk ke dalam sektor pendidikan.

Kita sesungguhnya mengetahui bahwasannya, Undang-Undang Dasar 1945 bertekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga Negara. Jadi tidaklah berlebihan, jika pendidikan itu juga merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM). Dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 31 ayat 1-4 Telah dijelaskan tentang jaminan mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Maka tidak ada lagi alasan bagi si miskin untuk tidak sekolah.

Jika hal ini tidak diperhatikan, maka kelak orang-orang yang berhasil dan makmur di negeri ini akan di isi oleh anak-anak orang kaya. Sedangkan anak-anak orang miskin akan sulit lepas dari kemiskinannya karena kebodohan yang diciptakan oleh sistem pendidikan sat ini. Dan inilah yang di inginkan oleh faham kapitalis.

Melepaskan tanggung jawab untuk mencerdaskan anak bangsa, berarti peng khianatan terhadap UUD. Apalagi dengan alasan otonomi pendidikan, dan aturan supaya sektor pendidikan mampu untuk membiayai operasional pendidikan, dengan cara men swastakan privatisasi lembaga pendidikan menjadi sebuah badan hukum, merupakan bukti tidak adanya tanggung jawab pemerintah untuk memajukan pendidikan.

Dengan di masuk kannya sektor pendidikan sebagai usaha jasa oleh pemerintah bersama WTO, maka paradigma pendidikan telah bergeser ke arah komersialisasi yang capitalistic. Moritas para pejabat pemerintah bersama wakil-wakil rakyat yang ada di senayan yang sudah dipengaruhi dengan kehidupan hedonis, dan mempunyai watak-watak untuk mencari keuntungan di dalam institusi pendidikan, maka permasalah yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan akan semakin rumit. Dan hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan akan semakin terik-kiss bahkan hilang.

Penulis adalah M. Ali Shodikin,

Sebagai pimpinan redaksi Majalah Arrisalah

Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya