Senin, 24 Januari 2011

METAMORFOSA KAMPUS 117


“Bangkitlah, bangkit mahasiswa
IAIN harapan bangsa, umat sedang menunggu bimbinganmu
Menuju ke arah medan nan jaya…
…”

Bisa jadi mars ini tidak akan pernah lagi didengunkan ketika IAIN benar-benar bermetamorfosis menjadi UIN. Selain akan ada mars baru sebagai pengganti, tentunya akan hadir kejutan-kejutan baru pula sebagai konsekuensi dari konversi tersebut. Namun ibarat ingin menggapai puncak gunung yang tinggi, sudah barang tentu butuh kerja keras dan pengorbanan, lalu bagaimana jika mahasiswa yang menjadi korban proses konversi ini?
Dan inilah yang ditakutkan oleh mahasiswa yang tergabung dalam berbagai UKM di lingkungan IAIN Sunan Ampel. Karena menurut mereka, ketika UIN benar-benar terealisasi, eksistensi UKM akan menjadi korbannya. “ dari segi akademik memang bertambah bagus, tapi non akademis seperi eksistensi UKM akan mengalami kemunduran. Sekalipun nantinya DPP naik, tapi apa gunanya jika jam kegiatan berkurang karena berlakunya jam malam?” tutur iqbal selaku sekertaris UKM SB. Hal ini juga senada dengan beberapa UKM lainnya, seperti UKMnya orang gagah (MAPALSA red). Sekalipun tidak secara terang terangan menolak lahirnya UIN, namaun ketua MAPALSA, Zahir menjelaskan bahwa sebenarnya setuju saja dengan berdirinya UIN namun harus lebih memperhatikan nasib UKM.
Ketakutan UKM pun terbukti. Belum konversi terjadi, kenyataanya UKM telah merasa jadi tumbal perubahan besar ini. Karena di hari hari akhir bulan Ramadhan kemarin UKM-UKM di haruskan pindah dari basscampnya di belakang bekas kampus Fakultas Adab. Hal ini mesti dilakukan karena di area basscamp tersebut mengalami proses pembagunan gedung empat lantai yang rencananya akan dijadikan gedung multimedia. Akhirnya selama pembangunan UKM di tempatkan di perumahan dosen yang letaknya jauh dari jangkauan mahasiswa. Hal ini disebabkan geografis gedung-gedung tersebut terletak jauh di sisi selatan kampus IAIN. Apalagi fasilitas yang ada di gedung tersebut kurang memadai, selain sempat tidak mendapatkan fasilitas listrik hingga menggagu kegiatan mereka, gedung tersebut hanya mempunyai satu toilet dan kondisinya kumuh alias tidak layak huni. Padahal di gedung itu terdiri dari beberapa UKM yaitu IQMA, pramuka, UKPI dan solidaritas. “Sebenarnya kami di tempatkan di mitra arafah gang 8, tapi kami menolak karena terletak di luar kampus” tutur Mu`tasim Billah selaku ketua umum IQMA yang ditemui di basscamp baru IQMA. “ selain itu ruang yang disediakan juga sempit dan harus berbaur dengan anak yatim. Apalagi kegiatan harus berhenti pukul 17.00” tambah mahasiswa semester tujuh jurusan AS tersebut. Untuk masalah dana relokasi
“Diesnatalis kita sempat hampir gagal, dan masih banyak acara lain yang gagal” jawaban sekertaris UKM SB ketika disinggung masalah kegiatan yang terganggu akibat masa relokasi tersebut, masa relokasi yang sampai kini belum jelas sampai kapan akan tetap berlangsung. Karena kesimpang siuran informasi ada yang bilang sampai November 2011 dan ada juga yang menuturkan bahwa sampai sport cantre terbangun. Selama relokasi terjadi tidak pernah ada kucuran dana untuk relokasi. Dan dana 30 juta yang santer terdengar itu ternyata hanya biaya sewa jika mahasiswa mau tinggal di mitra arafah. Setidaknya itulah penuturan dajjal (sapaan akrab ketua MAPALSA).
Satu hal yang sangat disesalkan UKM adalah arogansi pihak rektorat yang tidak mengajak mahasiswa duduk bersama dalam rangka negoisasi proses relokasi yang kabarnya sudah di konfirmsikan sejak bulan Mei lalu. Apalagi pihak DEMA selaku pengayom UKM-UKM tidak pernah turun tangan dalam memperjuangankan nasib UKM. “Selama ini presiden DEMA sangat dicari anak-anak, pasalnya dia tidak pernah tampak ada di kampus” kata Pecinta Alam dengan kecewa. Menghilangnya presiden DEMA juga diamini menteri dalam negeri DEMA, Kifa. Mahasiswa semester tujuh Fakultas Ushuludin itu memaparkan bahwa presiden DEMA saat ini masih sibuk di luar.
Tapi lelaki berkacamata itu tidak memberi keterangan kesibukan presiden DEMA hingga dia tidak pernah menampakkan batang hidungnya di kampus, sampai anak-anak UKM kesulitan mendapatkan ACC. Tapi di sisi lain menteri dalam negeri yang masa jabatannya akan berakhir pada akhir tahun 2010 ini jika pihak rektorat tidak pernah mengajak mahasiswa duduk bersama. Karena sebelumnya pernah diadakan mediasi di auditorium rektorat IAIN Sunan Ampel, tapi pihak UKM sendiri tidak meneriakan aspirasinya namun justru menggumam di belakangnya.
Disinggung mengenai peran DEMA dalam masalah relokasi, sofa menyatakan memang DEMA kurang berperan, tapi pihak DEMA telah berusaha mengajak UKM rembuk bareng dalam rangka pengadaan saluran listrik. Namun ketika hal ini di konfirmasikan ke salah satu UKM tepatnya UKM IQMA, mereka justru tidak tahu menahu hal ini, karena tiba-tiba saluran listrik terpasang, ini terlepas dari apakah usulan pihak DEMA atau justru inisiatif pihak rektorat sendiri.

Bagimana Persiapan Pihak Birokrat????

Mengkaji agama Islam tidaklah lengkap jika hanya mengkaji sisi religiusnya saja secara terus menerus, sementara perkembangan dunia yang semakin pesat di abad 21 ini tak terbendung dan tidak bisa ditahan. “Untuk itulah, perubahan IAIN menjadi UIN itu di dorong oleh factor kebutuhan. Karena perubahan social menuntut perubahan di lembaga ini” begitulah tutur Pak Rektor terkait obsesinya terhadap konversi IAIN menjadi UIN.
Memang demi memenuhi tuntutan zaman dan agar tidak ketinggalan era, IAIN yang selama ini terkenal dengan nilai kereligiusanya pelan-pelan menggeliat, secara bertahap merangkak mengejar ketertinggalannya dengan mengubah wujud menjadi UIN. Masih meminjam pernyataan Pak Rektor, menurut beliau bahwa santri-santri hasil gulawantahan pesantren yang mulai banyak mengambil studinya di SMA maupun SMK kesulitan masuk ke Perguruan Tinggi umum semisal ITS, UNAIR maupun UGM, hal ini disebabkan kurangnya akses. Maka UINlah yang menjadi satu-satunya harapan mereka untuk melanjutkan studinya.
Tapi Untuk menjadi UIN yang dianggap mampu sebagai alat dalam mengejar ketertinggalan itu haruslah memenuhi beberapa persyaratan. Di antaranya fasilitas-fasilitas akademis yang memadai, jurusan–jurusan umum bangunan fisik yang memenuhi persyaratan yang otentik, birokrasi yang professional dan lain sebagainya. Maka jika telah jelas persyaratan tersebut, apakah IAIN mampu merangkak lebih jauh lagi menuju UIN? Lalu bagaimanakah persiapan-persiapan yang telah dilakukan IAIN dalam memenuhi persyaratan tersebut?.
Pembantu Rektor I menyatakan, bahwa sudah sewajarnya bahwa IAIN wajib berubah menjadi UIN karena di IAIN sendiri telah berdiri Prodi-prodi umum seperti di Fakultas Tarbiyah ada dua prodi umum yaitu Prodi Pendidikan Matematika (PMT) dan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), di Fakultas Dakwah ada Prodi Sosiologi, Komunikasi dan Psikologi. Dan di Fakultas Syariah yang baru berdiri prodi Ekonomi Syariah. Akan sangat disayangkan jika tidak segera dirubah menjadi UIN maka prodi-prodi itu akan terancam hilang, karena PP 17 no. 10 yang menjelaskan tentang semua perguruan tinggi Islam hanya mengajarkan tentang keislaman, tidak boleh mengenai umum. Hal ini tentu saja akan memojokkan IAIN yang telah menyusupkan prodi-prodi dan jurusan umum sejak dulu. Memang UU tersebut belum diberlakukan sekarang, namun akan segera diberlakukan secepatnya.
Pihak Rektorat sepertinya telah benar-benar yakin IAIN Sunan Ampel akan berubah menjadi UIN Sunan Ampel, segala persiapan yang mengarah ke sana telah dilakukan. Menurut Pak Rektor Proposal sudah selesai dan tinggal menunggu uji kelayakan di Jakarta November mendatang, “Tapi masih butuh proses panjang, karena masih harus melalui beberapa kementerian yaitu kemeterian agama, kementrian diknas (pendidikan nasional), kementerian keuangan, bapenas untuk masalah anggaran serta kemensesneg (kementerian sekertaris negara sebelum akhirnya sampai ke presiden” tekan Rektor kelahiran tuban tersebut.
Sementara pengajuan proposal ke IDB (Islamic Development Bank) untuk pembangunan fisik kampus telah dilakukan, bahkan di tahun 2013 masalah bangunan sudah tentu clear. Dan birokrasi kampus akan segera menata sedemikian rupa guna menyambut gawe besar tersebut.
Untuk penambahan Fakultas umum tentu telah jauh-jauh hari dipersiapkan, Fakultas Science Dan Teknologi, Fakultas Social Politik dan Fakultas Kesehatan telah menjadi pilihan utama persiapan IAIN menjadi UIN. Ini guna menanggapai tantangan mengenai mulai beraninya PTN umum membuka jurusan keislaman. Misalnya UNAIR dengan departemen ekonomi islamnya, UNEJ dengan jurusan Pendidikan Agama Islam serta planing unijoyo yang rencananya akan membuka jurusan yang berbasis islam, belum lagi universitas di luar Jawa Timur. Jadi jika PTN umum mulai berani mendirikan program studi berbasis keislaman mengapa PTAIN semacam IAIN atau ‘Insya Allah’ UIN nantinya tidak berani membuka fakultas umum?.
Namun yang ditakutkan adalah, dengan hadirnya fakultas maupun program studi umum kemungkinan-kemungkinan akan lebih dominannya peminat fakultas umum ketimbang tersebut, ketimbang fakultas-fakultas maupun jurusan yang ber-embelkan Islam. Namun, masalah itupun tak luput dari pengamatan pihak rektorat. Untuk itu, ke depannya pihak rektorat akan menganggarkan lebih banyak lagi beasiswa-beasiswa yang diprioritaskan kepada peminat kajian ke-islaman. Sebab sudah menjadi tanggung jawab sebuah perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama untuk mengembangkan studi Islam. Maka dari itu, menurut Rektor UIN nantinya akan berkiblat dari langkah Universitas Al-Azhar yang memberikan beasiswa pada mahasiswa yang mengambil studi keislaman. Sehingga dengan langkah ini studi keislaman sebagai simbol eksistensi IAIN tidak akan hilang. Namun karena dana wakaf dari pemerintah Indonesia tidak bisa diandalkan, maka salah satunya adalah dengan subsidi silang antar prodi, prodi-prodi yang banyak diminati oleh mahasiswa baru akan menganggarkan pendapatan fakultasnya untuk menyokong fakultas yang kurang peminat. Ini semacam subsidi silang antar fakultas. “Dan mempertahankan kajian keislaman ini bukan hanya karena tuntutan sebagai bagian dari kementerian agama. Melainkan sebagai sebuah komitmen UIN dalam rangka gerakan mencintai ilmu keislaman.” Demikian Rektor mengakrabkan jargon tersebut. Jargon yang dianggap sebagai komitmen.
Di lain pihak, jadi UIN nantinya fakultas-fakultas yang ada tidak akan dihapus dari IAIN karena pihak rektorat tetap akan menonjolkan sisi ke-islaman dari perguruan tinggi Islam ini. Sekalipun pada kenyataanya study keislaman kini mulai sepi peminat. Tapi nantinya UIN Sunan Ampel akan melaksanakan pola seperti yang diterapkan di Universitas Al-Azhar, kairo. Dimana studi keislaman lebih diperhatikan dengan memberikan beasiswa bagi yang berminat mempelajarinya. Tapi kita tidak bisa hanya dengan mengandalkan dana wakaf dari pemerintah, maka rencananya akan menggunakan system subsidi silang antar fakultas. Maksudnya, fakultas umum yang ramai peminat sebagian pendapatannya dari mahsiswa akan disubsidikan kepada fakultas keislaman yang kurang diminati itu, guna memberikan beasiswa terhadap mahasiswa tersebut. Hal ini harus dilaksanakan karena perguruan tinggi dibawah kementerian agama wajib mengembangkan study keislaman, menurut Pak Rektor ini disebut gerakan mencintai ilmu keislaman.
Persiapan lainnya terkait perubahan tersebut, pihak rektorat telah meminta restu dari kyai-kyai yang ada di Jawa Timur, terutama kyai yang mempunyai pondok pesantren, sebelum mendeal-kan perubahan IAIN-UIN. Dan hasilnya, kyai-kyai Jawa Timur tidak melarang adanya perubahan tersebut. Memang, berdirinya IAIN Sunan Ampel ini salah satunya atas usulan dan dukungan para kyai Jawa Timur, sebagai wadah santri-santri yang telah menyelesaikan bangku pesantren dan melanjutkan ke perguruan tinggi, maka IAIN sebagai kampus islam-lah yang menjadi penampungnya. Disinggung mengenai konversi IAIN menjadi UIN yang sempat gagal karena terganjal restu dari kyai-kyai di Jatim, hingga akhirnya kita (IAIN,red) di pecundangi UIN Malang, Abdul Ala menyatakan bahwa para kyai-kyai itu justru membuka jurusan non keislaman, seperti halnya UNIPDU Jombang. Sebuah Universitas di bawah naungan yayasan pondok pesantren darul ulum.
Dalam bidang birokrasi pun, dosen kontrak sebagai salah satu cara untuk memenuhi pengajar pada fakultas baru yang tentunya belum ada di IAIN. Pemilihan dosen kontrak ini tidak lagi main angkat dan ambil, namun dosen yang berminat mengajar di UIN nantinya harus memenuhi beberapa persyaratan yang tidak hanya dilihat dari kemampuan akademisi, namun nilai kepribadian juga akan menjadi kategori dalam penyeleksian.
Pembangunan fisik tentu saja sangat urgen dalam metamorphosis IAIN ke UIN, proposal IDB pun akan segera direalisasikan menjadi gedung-gedung bertingkat yang rencananya terdiri dari empat lantai pada masing-masing Fakultas. Dua tower dengan 9 lantai pun telah dirancang sebagai mascot UIN ke depan. Tidak hanya itu, akan ada kampus baru yang bangunannya tidak satu lokasi dengan kampus IAIN sekarang, sehingga namanya pun menjadi kampus satu dan kampus dua. Dalam persiapan lahan kampus dua tersebut, pihak rektorat rencananya akan membeli 13 Hektar untuk tahun ini dan 10 hektar pada tahun berikutnya di wilayah Surabaya. “Kemungkinan pada akhir 2013 pembangunan fisik sudah selesai, maka kita bisa mengembangkan kurikulum” tegas pihak rektorat.
Terkait SPP abdul ala selaku pembantu rektor I, menjamin tidak akan ada kenaikan SPP, “Kami tidak akan menaikkan SPP, kalau semisal nanti ada kenaikan itu hanya sebatas kewajaran, justru nanti kami akan memberikan kesempatan pada masyarakat desa kelas menengah kebawah dengan memberikan beasiswa” tutur lelaki lembut dalam berbicara.
“Secara terang saya menolak BHP, karena bisa menjadi kendaraan bagi kapitalisme pendidikan. Meski akhirnya saya di cela oleh Rektor PTN lain” jelas Rector Nursyam ketika disinggung masalah biaya pendidikan. Hal ini berkaca pada pangsa pasar IAIN selama ini. IAIN selama ini merupakan salah satu perguruan tinggi dengan harga terjangkau oleh kalangan menengah dibawah. Hal ini bisa dilihat dari biaya pendidikan di IAIN jika di banding perguruan tinggi negeri lainnya di Surabaya dan malang. Tapi ini terlepas dari fasilitas yang diberikan.
Dan UIN nantinya juga akan tetap memperioritaskan alumni Pondok Pesantren sebagai konsistensi keagamaan. Sehingga tidak terjadi adanya budaya yang putus atau istilah kerennya cultural lag. tapi disinggung mengenai dampak dari gedung mewah yang tentunya juga butuh biaya operasional dan perawatan yang ekstra, Abdul Ala sebagai Pembantu Rektor 1 menjelaskan bahwa kita tidak hanya mengandalkan dana dari mahasiswa, pihak kampus juga akan melakukan kegiatan bisnis lain dan wisuda empat tahun sekali bisa di manfaatkan sebagai ajang bisnis, seperti usaha kerja sama dengan salon untuk memberikan fasilitas make up pada wisudawan/wisudawati dan penyewaan lahan stand. Selain itu, UIN juga mendapatkan jatah anggaran dari APBN maupun APBD. Sehingga SPP tidak perlu dinaikan.< Nas, Luchai>

MENYOAL PERAN MAHASISWA
Mahasiswa sebagai insan intelektual memainkan peran penting sebagai agent of change dan agent of social control. Sebagai agent of change mahasiswa menjadi garda terdepan dalam setiap perubahan, utamanya dalam kehidupan masyarakat. Jatuhnya rezim orde baru menjadi bukti bahwa perubahan yakni reformasi berada dalam pengawalan mahasiswa sebagai agent of change. Begitu juga sebagai agent of social control, mahasiswa diharapkan menjadi pengawal dan pengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh para birokrat, khususnya dalam lingkup kampus. Pembatalan UU BHP adalah salah satu bukti mahasiswa konsisten dalam mengawal kebijakan.
Narasi di atas jika ditarik dalam kehidupan kampus 117 menjadi sebuah kontradiksi. Kontradiksi karena pengawalan terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat kampus hanya disepakati saja, tanpa dipertanyakan ulang, bahkan tanpa dikontrol apalagi dikritisi. Tercatat hanya dua kali demo yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai front pembela IAIN (FPI), terakhir ketika wisuda semester genap tahun 2009. Setelah itu, pengawalan terhadap wacana konversi IAIN menjadi UIN kemana ?
Tak hanya itu, penggusuran gedung UKM di pojok kampus 117 tanpa sedikitpun perlawanan memberikan penjelasan yang kian terang kalau mahasiswa di kampus ini dipertanyakan konsistensinya dalam memainkan peran sebagai agent of change dan agent of social control. “UKM, SEMA dan organ intra di kampus ini saling berkompetisi, bersaing sehingga mereka lupa akan kebersamaan dan terjebak dalam kepentingan indivdualis” ungkap Shodikin, ketua Teater Q. Dia juga menambahkan, “bersatunya semua UKM, kuatnya persatuan SEMA seluruh fakultas dan kritisnya mahasiswa adalah hal yang sangat ditakuti oleh birokrat kampus sehingga kondisi saat ini adalah semacam strategi dan sebuah pengkondisian” tuturnya.
Sementara, menurut Dzulfikar, mahasiswa Jurusan Siayasah Jinayah fakultas Syari’ah, keadaan mahasiswa yang diam dan kurang peduli dengan permasalahan kampus adalah kurangnya penyadaran terhadap diri mahasiswa akan tugasnya sebagai agent of change dan agent of social control oleh setiap organisasi yang menaunginya. Pria yang juga pegiat M. Cangkir, sebuah komunitas diskusi cangkruan sambil berfikir ini juga menyebutkan kondisi saat ini adalah sebuah produk dari konstruk budaya, trend yang menggeser budaya kritis ala mahasiswa kepada budaya instant ala paham hedonis dan pragmatis.
“Kediaman 117”, sebuah tema yang diambil oleh BEMI pada OSCAAR mahasiswa tahun 2009 memang sebagai sebuah sindiran halus terhadap keadaan kampus IAIN yang “diam”, sepi dari kekritisan mahasiswa terhadap fenomena yang terjadi di kampus, begitu juga kontrol sosial terhadap isu yang terjadi di negeri ini. Stagnan mobilisisasi mahasiswa dalam mengawal berbagai problema yang ada di dalam kampus menjadi sebuah kesimpulan terhadap keadaan mahasiswa saat ini, begitulah pesan singkat dari OSCAAR BEMI 2009 “kediaman 117”.
Dalam analisa lain, Nehru, dia mengungkapkan bahwa kondisi mahasiswa IAIN yang cenderung diam dan tidak peduli dengan kondisi kampus adalah karena orientasi mahasiswa lebih cenderung terhadap kekuasaan, saling berkompetisi untuk menguasai nonsense sehingga untuk memikirkan urusan bersama seperti kebijakan yang merugikan mahasiswa.
Mahasiswa jurusan PAI semester V ini juga menambahkan terkait konversi IAIN menjadi UIN, “saya tidak mempertahankan IAIN-nya atau mendukung UIN-nya, namun saya dari awal tidak setuju dengan system pendidikan yang ada di Indonesia, memang UU BHP yang menjadi simbol komersialisasi dunia pendidikan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi namun prakteknya masih terus berlanjut hingga saat ini”. Imbuhnya.
Di akhir perbicangannya dengan Crew Arrisalah, ada nada harapan dan kehati-hatian darinya, “Propaganda yang dilakukan birokrat kampus yang menawarkan kemajuan di kampus ini sah-sah saja namun di balik itu kepentingan politis seperti apa yang mereka inginkan? seperti jembatan suramadu yang dalam propaganda untuk memudahkan akses masyarakat pulau Jawa ke Madura namun ternyata dibalik itu ada semacam strategi untuk mempermudah distribusi sumber daya alam bahan baku nuklir yang banyak terdapat di Madura”. Tandasnya.
“Pendidikan berorientasi pada kepentingan rakyat dan paling esensi adalah bukan atas kepentingan kelas-kelas tertentu” harapnya. Dari statement yang Nehru berikan terselip sebuah pesan agar jangan sampai pendidikan yang dalam amanat undang-undang untuk mencerdaskan bangsa, tidak diboncengi dengan kepentingan politis, menciptakan sebuah kemajuan namun dengan motif profit oriented yang terselubung. Dengan profit oriented otomatis biaya pendidikan akan mahal, ketika pendidikan mahal maka hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjangkau. “Ini adalah penjajahan gaya baru, pendidikan kembali ke format masa lampau, hanya orang-orang tertentu, dalam kelas tertentu yang bisa menjangkau“ jelas mahasiswa berambut gondrong tersebut.
Terkait dengan kerjasama IAIN dengan IDB dalam realisasi konversinya, IDB yang notabenenya sebagai investor, “Setiap investor yang mencoba masuk ke dunia pendidikann dengan memberikan sumbangan dana yang seolah-olah baik namun dibalik itu ada kepentingan, yakni output mahasiswa kembali kepada mereka, seperti di ITS, sudah ada Fakultas Holcim, dsb” tandas pengemar rokok. Semoga tujuan mulia memajukan pendidikan tidak diboncengi komersialisasi yang justru akan mencoreng dunia pendidikan. (Munawwar)